Entah untuk berapa lama, ia tidak tahu. Ia kemudian berhenti begitu saja. Bukan karena lelah atau haus, tapi lebih karena jemu. Dan ketika ia membuka mata, perempuan itu masih ada di hadapannya. Menatapnya dengan raut wajah dan posisi duduk yang sama.
Rohman sangat ingin mencekiknya.
“Kau bilang tadi ini Ruang Tunggu?”
“Ya.”
“Lalu apa setelah ini?”
“Saya tidak akan memberitahu, itu bukan tugas saya.”
“Berilah petunjuk, sedikit saja!”
“Saya sudah memberitahu apa yang kamu perlu tahu. Tidak akan ada bidadari untukmu.”
“Lalu ada apa?”
Lagi-lagi perempuan itu tertawa. Nadanya kali ini lebih bersahabat daripada meledek. “Kalau saya cerita memangnya kamu percaya? Selama ini kan kamu percaya pada guru-gurumu itu. Nah ternyata kamu dikibuli. Titik. Kamu cuma dimanfaatkan saja, dibodoh-bodohi. Mereka itu belum pernah berkunjung kemana-mana selain berputar-putar di pikiran sesat mereka sendiri, boro-boro sampai di Ruang Tunggu seperti kamu.”
“Brengsek! Brengsek! Brengsek” maki Rohman. Kemudian kembali menangis. Lalu berguling-guling, menendang-nendang, memukul-mukul, terus menerus melakukannya, terus menerus, tanpa merasa lelah. Tapi setelah entah berapa lama, akhirnya ia merasa jemu. Ia kembali duduk berhadapan dengan perempuan itu, yang masih menatapnya dengan raut muka dan posisi duduk yang sama. Batang rokoknya tidak memendek, dan asapnya terus mengembuskan aroma kretek.