Suara gebrakan meja terdengar lagi, dan lagi-lagi aku hanya bisa meringkuk di dalam kamar sambil menutup telinga, berusaha menghilangkan suara gaduh di luar kamar yang seakan telah menjadi rutinitas setiap waktu. Suara-suara itu telah membuat telingaku kebal, tapi tidak dengan hatiku. Ada retak yang tidak bisa diceritakan, ada luka yang hanya bisa aku pendam sendiri.Â
Terlihat dari balik jendela kamar, langit seakan tenang dengan cahaya bintang bertebaran. Berbanding terbalik dengan keadaan di dalam rumahku, kacau, tidak ada ketenangan sedikit pun. Aku jadi penasaran, bagaimana kehidupan di planet atas sana, terutama di Mars. Apakah juga kacau seperti di rumah ini?
Langit telah menjelma menjadi terang, setelah terlelap dengan waktu yang ku rasa sangat kurang, aku dipaksa untuk terbangun lagi. Padahal jika lebih memilih, aku ingin hidup di dalam mimpiku saja. Karena di dalam mimpi itu, aku bisa melihat orang tuaku hidup tanpa kebencian.Â
Mereka hidup berdampingan dengan binar cinta dari masing-masing kedua mata mereka. Mereka menyayangiku, memperhatikanku dan memperlakukanku seakan aku porselen yang tak boleh tergores sedikit pun. Tak ada suara gebrakan meja dan suara teriakan yang saling menyahut di rumah itu, aku benar-benar bisa merasakan suasana rumah yang tenang.Â
Tapi sayangnya cahaya pagi merenggutnya, dan aku dipaksa kembali ke alam sadar dengan kehidupan yang sangat jauh dari mimpiku.Â
Ku gendong tas ranselku, berjalan menjauhi halaman rumah. Setelah pertengkaran tadi malam, tak kulihat batang hidung kedua orang tuaku. Entah mereka masih di dalam kamar masing-masing atau telah pergi sejak pagi buta tadi. Tak ada sarapan di meja makan, bahkan sejak tadi malam mereka tidak mencariku, mereka tak pernah memastikan aku masih bernafas atau tidak.Â
Ini adalah bulan ke delapan diriku menjadi gadis SMA, tak ada yang istimewa di sekolah itu. Tapi setidaknya tidak terlalu gaduh dan sengsara untuk ditinggali selama beberapa jam, menjauh dari rumah.
"Hai", seseorang tiba-tiba menyapaku, lelaki perawakan tinggi dengan sepeda dituntunnya, dan berseragam sama denganku.
Dengan mawas diri aku melihatnya, wajahnya sangat asing.Â
" Lo anak yang tinggal di rumah nomor 15 ya, gue tadi keliatan lo keluar soalnya".
"Iya", ucapku singkat