Mohon tunggu...
Febry Salsinha
Febry Salsinha Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Universitas Gadjah Mada Fakultas Biologi 2012

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perpisahan yang...

31 Agustus 2013   06:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:35 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Based on  a story of Cecilia Novianti Salsinha

Malam berlalu begitu cepat dan larut hingga gelap terasa menyelimuti dan menemani kami bersama dingin. Namun enggan mata ini terkatup mengikuti pengaruh kerja hormon melatonin. Kebersamaan ini seakan menghambat kerja sirkardian tubuh kami sendiri. Aku enggan melepaskan pandanganku dari mereka, dari semua orang dihadapanku, saudaraku. Dengan masih sesekali bersenda gurau, rasa kesedihan akhirnya tidak dapat kusembunyikan. Besok saat mentari terbit lagi dari timur, aku harus benar-benar melepaskan saudaraku pergi, pergi ke tempat di mana hidup akan betul-betul dimulainya di sana.

“Sil, bagaimana besok? Kamu ikut ‘kan?” Kak Ergan bertanya padaku. Pertanyaan itu membuyarkan pikiran sesaatku yang sedang mengembara. Ada ragu terselip untuk membalas pertanyaan itu dengan jawabanku. Dalam sepi aku sempat berbisik pada kak Ergan, nanti kalau  Kak Inka nanya soal itu tolong jawab saja, aku tidak bisa ikut mengantar kepergiannya. Iseng memang. Padahal maksud hatiku terpatri sangat jelas. Aku tidak akan mungkin melewatkan hal itu. Terang saja... dia kakakku. Maksudku, Ya... jujur, kuakui memang, baru beberapa bulan aku mengenalnya. Namun seperti ada jalinan aliran listrik tiap kali aku bersamanya, atau reaksi fotoemisi ketika aku memandang wajahnya. Yaah...  ini chemistry kami. Kak Ika sudah menjadi kakak yang sangat memahami maksud dan kehadiranku.

“Oh, iya...besok kamu ikut ‘kan ke Bandara?” pertanyaan itu terlontar lagi. Dan aku sembari serius memandangi mereka hanya menggeleng. Mencoba memastikan rencana isengku berjalan lancar.

“Mm... sepertinya tidak, Kak Nath... mungkin besok saya tidak ikut mengantar Kak Inka ke Airport. Maaf yaa...” kataku setengah memelas. Kak Ergan yang mendengarku mengatakan hal itu segera berbisik dengan suara cukup keras di telinga Kak Nathan.

“Sst... Besok kamu jemput dia di tempatnya. Dia ikut ke Bandara soalnya. Tapi jangan bilang- bilang ya sama Inka ya...”Katanya sembari tersenyum. Ya ampuun.. siapa yang tidak geram coba? Ya sudahlah... Kak Inka juga sudah mendengarkan... kesal.

“Yo, nggak ‘pa-pa... Bohong aja terus...” katanya sembari dihiasi seulas senyum.

Kebersamaan  itu mungkin akan berlangsung malam ini hingga pagi menjelang jika saja kami terus enggan beranjak dari tempat itu. Namun rencana ini mengalahkan semuanya. Jelas kami harus pulang dan mempersiapkan semuanya. That’s all... semua bubar dengan hati gusar...  dan jelas dengan tanya dalam hati, akankah besok benar-benar terjadi?

***

07.56

Siap dengan diriku sendiri, aku masih menunggu  di kamar kostku dengan sesekali menengok keluar. Astaga... ini hampir jam delapan. Pikirku. Semoga saja belum terlambat. Harap- harap cemas mengisi pikiranku. Tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk.

Kak Nathan: Aku udah di depan kost.

Aku segera melangkahkan kaki keluar dan mendapati Kak Nathan di atas sepeda motor yang bru saja tiba.  Fiuhh... kirain mo telat. Pikirku.

“Kita langsung ke Bandar Udara ya?” tanyanya.

“Mmm, bentar Kak... aku sms  kak Inka dulu...” kataku. Dengan cepat jariku mengetikkan pesan singkat di ponsel sembari beranjak pergi bersama Kak Nathan dari kostku. Beberapa saat berlalu, ponselku bergetar. Tidak jauh dari jaraknya dari Airport.

Kak Inka: Kalian ke kost-ku aja. Yang lain juga masih pada ngumpul di sini.

“Kak, seperti kita ke kost Kak Inka dulu, deh.”

“Mm, gitu ya katanya? Ya sudah kalau begitu...” katanya singkat kemudian melaju cepat menuju tempat tinggal Kak Inka. Seperti yang dikatakan Kak Inka tadi, semua kakak – kakakku ini sedang duduk dan menunggu di kost Kak Inka... Fiuh... Parahnya lagi, ternyata mereka masih santai – santai saja dengan opor ayam menghiasi  mulut mereka. Tidak tahukah mereka aku tadi terburu-buru hingga hampir saja melupakan bahwa roll rambut masih terpasang di rambutku. Ketus, gumamku dalam hati.

“Astaga... kalian tega banget... Kita udah buru-buru lho dari kost...” kataku memelas.

“Hahaha... iya, iya... maaf...tidak apa-apa kok... Sini sekalian nih makan bareng yang lain.” Kak Inka dengan senyum yang menenagkan memanggilku dan Kak Nathan. Dengan cepat kak Nathan menyerbu ke arah opor ayam yang menyebarkan wanginya yang menggoda.

08.05...

“Sepertinya kita masih punya banyak waktu hingga check in nanti...” Kata Kak Inka sembari menyiapkan piring untuk Kak Nathan dan aku.

“Sil, makan yuk...”tawarnya lagi. Aku menggeleng.

“Nggak, akh... takut. Perutku biasa sensitif kalau makan pagi.”

“Ealahh... Hehe.. makanya dibiasain... perut kampung tuh jarang sarapan.... Hahaha” Kak  Ergan yang baru saja menghabiskan semangkuk besar opor meledekku dengan tawaan keras.

“Ya.. yah.. yaah... ngejek lagi. Bodo ah...” kataku tak peduli sembari duduk mengamati jam tanganku.

Waktu terus berjalan. Dalam hatiku, ada cemas bersembunyi. Entahlah... aku merasa akan hampa mungkin tanpa Kak Inka lagi di tiap pertemuan – pertemuan kami nanti. Hhh... biarlah waktu yang menjawabnya.

***

Selang beberapa menit, 08.43 Tik..tok.. tik.. tok...

Mendekati saat – saat itu jam dinding terasa sangat jelas mengumandangkan gerakan jarum – jarumnya. Semua bersiap –siap untuk berangkat. Paling tidak, kita punya waktu 15 menit sebelum batas minimum check in. Dalam 15 menit itu aku akan puas memandangi Kak Inka yang sebentar lagi tidak berada di depan pandanganku. Pikirku. Kak Nathan dan Kak Daniel yang sedari tadi menikmati opor ayam dengan lahapnya akhirnya bangun berdiri dan segera ke depan. Yeah, just call for the taxi. Kita butuh tumpangan tentunya. Eh, maksudku bukan kita... koper-kopernya. Hehe... Dari arah gerbang kulihat Kak Logan, David dan Aiden dengan motor yang jadi tunggangan mereka masing-masing. Sepertinya akan banyak hati terluka menyambut kepergian Kak Inka.

Beberapa menit kemudian, sebuah taxi berwarna hijau sudah terparkir di halaman kost tempat tinggal sembari menunggu Kak Inka yang masih berada di dalam. Yah, dia harus berpamitan juga dengan orang – orang yang mengurusi kost itu. Dan sudah kukatakan tadi, akan semakin banyak orang yang akan merindukan kehadirannya. Setelah semuanya, kami beranjak pergi. Aku berada di dalam taxi bersama dengan Kak Inka dan Kak Ergan. Ada tawa dan percakapan yang berusaha aku keluarkan untuk menutupi kesedihanku. Untuk sejenak, itu berhasil tentunya. Tapi aku tidak yakin dengan nanti.

Beberapa menit dalam perjalanan ini, taxi yang kami tumpangi mengantar kami tepat di depan lobi Bandara Adisucipto Yogyakarta. Yah, ini kotaku, kota kami. Welcome to the airport... Deg.. deg.. deg...  ada enggan membiarkan gerakan tanganku untuk membuka pedal pintu taxi. Namun,

“Ayo, kita harus cepat....” Kata Kak Ergan yang sudah berada di dekat bagasi sembari menurunkan koper untuk dibawa masuk. Aku turun bersamaan dengan Kak Inka. Dan kurasa, beberapa orang Kakak dan teman-temanku belum juga tiba di tempat ini. Kulirik jam tanganku, hampir jam 9.

“Inka, sepertinya kamu harus masuk dan melakukan check in sekarang. Kita tidak punya banyak waktu.” Kata kak Ergan. Ada binar di mata Kak Inka waktu itu. Dan aku tahu, mungkin setengah hatinya masih tidak merelakan perpisahan ini.

“Yah... Kak Inka masuk saja dulu.... Nanti kalau masih ada waktu, mungkin Kak Inka bisa keluar sebentar dan menengok kami.” Kataku melanjutkan, mencoba mencairkan suasana dengan seulas senyum. Kak Inka mengangguk.

Segera ditariknya troli koper menuju pintu masuk Check in. Kami hanya memandangnya berlalu. Diam. Beberapa saat itu terasa menyakitkan. Apalagi jika Kak Inka tidak keluar lagi dari ruangan itu.

Tik...tok...tik...tok... 5 menit berlalu. Tiba- tiba sorot mataku menangkap ke arah pintu. Itu Kak Inka. Ada bahagia tersirat. Cepet baget Check in nya....pikirku. Masih dibawah perasaan tidak sadar aku menghampiri kak Inka. Kulihat matanya dengan binar di pelupuk. Namun, ada perasaan ganjil menghampiri.  With a suitcase, no airport-tax paper, no boarding pass. Artinya?

“Kak Inka sudah check in?” tanyaku mencoba mencari jawaban meyakinkan. Kak Inka menggeleng. What the hell on it. I can’t get it.

“Maksudnya?” tanyaku lagi.

“Jadwal check in sudah lewat. Dan kita sudah sangat terlambat.

“Whats? Apa ini? Lalu? Bagaimana mungkin? Bukannya jadwal take off nanti jam 09.45? Ini ‘kan baru mau jam 9... Tidak mungkin seperti ini!” Kak Ergan yang sedari tadi bingung dengan pernyataan Kak Inka akhirnya menunjukkan taringnya. Kulihat ada garang dan kesal terpancar dari wajahnya. Kak Inka berusaha menahan gejolak kesalnya pula. Just take a deep breath. Relax, please... aku berharap semua akan baik- baik saja.Tenang dulu tentunya. Everything will going right.

Tiba-tiba Kak Nathan, Kak Daniel, Kak Logan, David, dan  Aiden tiba. Kutahu ada rona keheranan di wajah mereka. Waktu menunjukkan pukul 09.06

“Lho, kenapa belum masuk? Inka sudah selesai check in?” tanya kak Nathan heran. Kak Inka tidak sanggup mengeluarkan kata- kata lagi.

“Kita terlambat. Jadwal check innya sudah lewat.” Kata Kak Ergan

“Bagaimana mungkin?” tanya kak Nathan sembari melirik jam tangannya.

“Ini belum terlambat. Bahkan masih tersisa 30 menit sebelum ke waiting room. Mana tiketnya? Saya harus masuk dan memastikan.” Katanya melanjutkan dengan wajah garang sembari melepas jaketnya dan menarik tiket dari tangan Kak Inka. Semua berharap dengan cemas di luar. Hh.. management apa ini? Belum pernah rasanya peristiwa ini terjadi. Dan sepertinya ini keterlaluan. Semua wajah di situ tampak kesal.

Menunggu, menunggu dan menunggu... Tak lama kemudian dengan wajah tertunduk dan lemas Kak Nathan keluar menghampiri kami. Tiket itu masih dalam genggaman tangannya. Keheranan kami dibuatnya. Mana semangat yang menggebu-gebu tadi? Dan aku tahu jawabannya mungkin pada titik balik yang terjadi di depan petugas di dalam sana.

“Ada apa? Bagaimana hasilnya?” kak Ergan bertanya penasaran.

“Yah.. ini memang sudah di luar batas check in. Dan memang managementnya sudah seperti itu.” Kata kak Nathan sembari menunjukkan tiket itu. Ada tanda tanya besar melekat kuat di atas kepalaku. Kulirik pada catatan  kecil di bawah tiket yang ditandai dengan sebuah lingkaran besar. Mungkin oleh petugas.

“Apa Kak Nathan tidak punya cukup bukti untuk verifikasi?” tanyaku sebelum benar-benar melihat tulisan pada tiket itu. Kak Nathan enggan menjawab. Hanya lesu menggeleng.

Please check in 1½ prior to flight departure or at least 45 minutes before your  flight departs.

Jeeeng... jengg... tulisan berlingkar itu membuat kami kaget, mungkin tak sanggup berkedip. Hanya diam yang menemani. Juga ekspresi tertunduk yang menghiasi. Lemas. Ternyata pada bagian Itinerary Details telah dicantumkan, depart time pukul 08.45 dan bukan 09.45. It’s such a unbelievable experience ever... Bukan hanya karena dunia punya sesuatu yang tidak mudah ditebak, tapi juga karena kita tidak pernah menyadari hal – hal yang terlalu mudah ditebak. Yaah, yaah... selalu, kesalahan yang bergerak di dunia adalah Human error dan terlebih untuk hal ini, karena opor ayam.... Ckckck...Bingung ‘kan mau ketawa atau harus bersedih? Kontras memang...

Just waiting for the next story of the them ....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun