Mohon tunggu...
Febri Resky Perkasa Siregar
Febri Resky Perkasa Siregar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya menulis dunia seperti apa adanya, jika dunia salah saya akan menulis seperti apa seharusnya. Steller; @febrisiregarr Jakarta-Solo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Tentang Pemuda yang Menjadi Sebuah Kitab

18 April 2016   20:01 Diperbarui: 18 April 2016   23:18 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Febri Resky Perkasa Siregar | Dok. Pribadi"][/caption]Mataku terbuka. Sejauh mata memandang, tidak satu pun yang ada. Kosong. Aku berteriak sekencang-kencangnya tetapi tidak ada yang menghiraukan. Sampai-sampai diriku terasa hampa. Seorang diri terjebak dalam ruang yang tidak ada batasnya.

Sejurus mataku menembakkan pada satu titik. Titik itu semakin lama semakin membesar. Lalu bergerak dan membentuk sesosok bayangan yang mendekat kepadaku. Hatiku menebak-nebak siapakah bayangan itu? Manusia? Binatang? Setan? Ataukah Tuhan?

Sayup-sayup terdengar suara “Pemuda, ikutlah denganku.”

Suara renta menggema di telinga kecilku. Jiwa ini seperti sederetan gunung api yang menggeliat, saat sesosok bayangan itu sudah berhadapan tepat berada di depan bayanganku. Perlahan-lahan pandanganku bergerak dari bawah lalu ke atas. Astagfirullah! Perempuan paruh baya berselendangkan merah putih. Siapa dia? gumamku dalam hati. Wajahnya menyiratkan rasa damai. Membuat perasaan terkejutku setidaknya mulai menghilang. Perlahan-lahan.

“Siapa kau?”

“Pemuda aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanya ingin mengingatkan tentang kebenaran sebuah negeri bernama Indonesia, yang manakala negeri itu akan terpecah belah dan hancur luluh sebelum masanya.”

“Benarkah? Indonesia adalah negeriku. Memang saat ini Indonesia sedang terpecah belah. Selama aku hidup, aku belum menemukan kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan yang sesungguhnya. Apakah kau bisa memberi jawaban atas segala permasalahan negeriku?”

“Tentu Pemuda. Percayalah. Percayalah kepadaku Pemuda sebelum kau menyesal tentang kebenaran negerimu. Sekarang marilah ikut denganku.”

 “Ya baiklah, karena kau akan memperlihatkan kebenaran kepada tanah airku.”

Perempuan itu mengajak jiwaku terbang menuju langit. Tinggi tak terhingga. Setiap lapis langit, kulalui dengan satu hirupan nafas. Tanda tanya berkibar dalam benakku, gerangan apa yang akan ditunjukkan oleh Perempuan itu. Aku memperhatikan gerak-geriknya. Dengan tenang, Perempuan itu melemparkan senyuman yang begitu ikhlas kepadaku. Tak sadar, aku telah memasuki alam yang berbeda.

Sampailah Aku pada suatu tempat. Tempat ini terlihat seperti pintu gerbang kerajaan yang sangat megah rupanya. Pintu gerbang itu dijaga oleh banyak makhluk bersayap. Ada yang memiliki sayap sebanyak 8, 17 dan 45. Aku hanya terkagum-kagum melihat makhluk itu. Perempuan itu mengarahkan matanya kepadaku “Hai pemuda, ini adalah pintu gerbang menuju kebenaran Indonesia. Selama aku dan kau melewatinya, janganlah sekalipun bertanya kepadaku tentang apa yang kau alami.” dengan diselimuti rasa penasaran, aku junjunglah petuahnya.

Aku dan dirinya melangkahkan kaki melewati pintu gerbang. Jalan yang berlantaikan bintang-bintang menemani perjalananku menuju kebenaran Indonesia. Beberapa langkah lamanya, betapa terkejutnya aku saat melihat lautan orangtua renta berlumurkan darah. Mereka meneriakkan sesuatu tetapi tak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka, aku tak sanggup memandanginya, seperti palu dan arit yang bersatu-padu membongkar isi otakku. Pemandangan memilukan itu terus berlanjut mengiringi perjalananku. Perempuan itu tetap terpaku pada pandangan lurusnya tanpa menoleh kepadaku sekalipun.

Tak sampai seribu langkah, lagi-lagi aku dihadapkan oleh kejadian aneh. Mataku melihat sebuah hamparan melati putih yang indah akan tetapi terbakar oleh api yang berkobar-kobar. Melati putih itu hangus dan menjadi abu lalu tumbuh dan terbakar lagi.Terus menerus tidak berhenti seperti melihat matahari yang terbit dan terbenam dalam sekejap. Tanda tanya besar semakin terbayang-bayang dalam benakku.

Cahaya yang bersinar-sinar  terlihat dari kejauhan. Sekejap sampailah Aku dan dirinya pada sebuah taman yang begitu indah. Taman di atas lautan awan.

***

Perempuan itu lagi-lagi mengarahkan pandangan matanya kepadaku “Hai pemuda kemarilah akan kupertemukan kepada Nusantara yang maha pengasih lagi maha penyayang.” Sejenak aku memberhentikan langkah. Penglihatanku tertuju pada seorang lelaki yang mengenakan pakaian jubah, lengkap dengan sorban dikepala. Ia sedang duduk membelakangi meja bundar.

 Tiba-tiba suara perempuan itu kembali masuk ke telingaku “Apa yang kau alami selama perjalanan  tadi, tanyakanlah kepada Nusantara nanti.”

“Siapakah Nusantara itu?”

“Dialah yang memperjuangkan dan membimbing para leluhur Indonesia di setiap zaman, wahai pemuda.”

Seketika lelaki yang membelakangi meja bundar itu, bangkit dan berbicara, “Pemuda lagi… pemuda lagi, mengapa kau membawanya lagi, sudah banyak pemuda di zaman edan yang kau bawa kepadaku. Semuanya berakhir dalam kehinaan!”

“Daulat ya Tuan, hamba mohon beribu ampun. Hamba sengaja membawa pemuda ini untuk memperlihatkan kebenaran yang ada tentang negeri bernama Indonesia ya Tuan.”

“Oh itu…negeri yang sudah kuperjuangkan bersama para leluhurnya akan tetapi generasinya sekarang penuh dengan kemunafikan, kebencian, kesombongan, kebodohan dan ketidakadilan dan kemesuman?”

“Benar sekali ya Tuan, Aku mohon Tuan bersedia memperlihatkan kebenaran tentang negeri itu.”

“Sebenarnya sudah bosan aku dikecewakan para pemuda di negeri itu. Sudah berjuta-juta pemuda kau bawa kemari. Tetapi semua berakhir durhaka kepada leluhurnya. Ingat ini adalah yang terakhir kalinya. Kembalilah bertugas ke bumi wahai Pertiwi!”

“Terima kasih Tuan.”

“Hai pemuda, ingat tanyakanlah kepada Nusantara, apa yang kau alami selama perjalanan melewati pintu gerbang.”

“Baiklah, terimakasih sudah mengantarku.”

“Ya pemuda.”

Perempuan itu menghilang sekejap. Bak ditelan langit. Nusantara menyebutnya Pertiwi. Apakah dia Ibu Pertiwi? Termenunglah aku sejenak. Dan Kini hanya aku dan Nusantara yang ada.

Hawa di taman ini semakin sejuk. Tapi rasa sejuk itu semakin lama semakin menipis seiring tatapan tajam Nusantara memperkosa batinku. Aku mencoba menggerakkan mulutku. “Bertanyalah!” gertakku dalam hati.

“Nusantara aku hendak bertanya kepadamu. Pertama, Ketika  melewati gerbang, aku melihat lautan orangtua renta yang berlumurkan darah berteriak-teriak tetapi tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, apakah arti dibalik semua itu?”

“Dengarkan baik-baik pemuda, orang tua itu adalah para arwah pahlawan pejuang Indonesia yang sedih dengan kelakuan bangsa Indonesia saat ini. Perjuangan mereka tak dianggap sama sekali. Mereka sangat menyesal. Monumen-monumen perjuangan dijadikan tempat hiburan dan permesuman, pemimpin-pemimpin di negeri itu melebihi kotoran iblis dan negeri itu kini sudah mencetak generasi durhaka. ”

“Aku terdiam dan nafasku terhenti sejenak, sebegitu kejamkah bangsa Indonesia?” tanyaku dalam hati.

“Hai pemuda kenapa kau diam,  silahkan bertanya kepadaku.”

“Maaf Nusantara, pertanyaanku selanjutnya adalah tentang melati putih yang tumbuh dan terbakar oleh api dengan berulang-ulang. Jelaskanlah Nusantara.”

“Hmm…. Melati itu menandakan keindahan negeri Indonesia, tetapi keindahan yang luhur itu tumbuh lalu terbakar oleh manusia-manusia hina yaitu bangsa Indonesia sendiri. Keindahan itu terus berusaha tumbuh akan tetapi dihancurkan lagi oleh ulah bangsa itu terus berulang-ulang.”

Sejenak aku termenung memikirkan jawaban Nusantara yang mencekik jiwaku.

Tiba-tiba “Hai kalian berdua kemarilah!” teriak Nusantara.

Nusantara memanggil dua orang yang sangat terlihat asing bagiku. Aneh! Mereka berdua mengenakan baju serba putih sembari menangis hingga nafas mereka terdengar ngik-ngik di antara sisi yang berbeda.

“Hai Pemuda mereka adalah leluhur yang merupakan muridku. Muridku yang disebelah kiri itu telah menghilang di Gunung Lawu sedangkan muridku yang disebelah kanan menghilang di selatan Pajajaran.”

“Kenapa mereka berada disini dan mengapa mereka menangis ya Nusantara?”

“Sabar pemuda, sebenarnya mereka menangis atas perbuatan keji yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia saat ini.”

“Wahai Nusantara hal apa yang telah dilakukan bangsa Indonesia hingga membuat mereka menangis? Terangkanlah kepadaku, Nusantara”

“Dasar pemuda zaman edan. Lihatlah negeri Indonesia yang kaya raya, aku beri banyak musibah dan bencana alam seperti gunung meletus, gempa bumi sampai banjir. Ini aku lakukan agar mereka sadar dan bersyukur. Para wanitanya banyak yang kehilangan rasa malu, tidak saling memberi berita dan banyak orang miskin beraneka macam yang sangat menyedihkan kehidupannya. Para pemimpinnya berhati jahil, bicaranya ngawur, tidak bisa dipercaya mengatakan seolah-olah bahwa semuanya berjalan dengan baik, padahal hanya sekedar menutupi keadaan yang jelek *). Puaskah dengan jawabanku pemuda?”

Perih sekali mendengar kata-katanya yang bercampur dengan lipatan udara. Seakan-akan merobek nadiku hingga sebotol minuman keras terpenuhi darah.

“Nusantara, apa yang bisa aku perbuat untuk mengubah Indonesia kembali pada masa kejayaan?. Aku ingin sekali memperbaiki akhlak bangsa Indonesia. Aku tak ingin melihat arwah-arwah para leluhur menangis, Nusantara. ”

“Niatmu sungguh terpuji Pemuda. Aku akan memberimu petunjuk. Tetapi kau harus berjanji kepadaku, kau harus mengubah Indonesia kembali pada masa kejayaannya bahkan melebihi yang dahulu. Jika kau melanggarnya maka kau akan menjadi seperti orang ini.”

Mendadak dari tanah, muncul tubuh orang yang terbakar. Warnanya hitam legam. Kulitnya penuh dengan borok dan dihiasi nanah yang baru matang. Baunya sangat busuk. Tubuhnya hampir-hampir hancur luluh. Belatung-belatung menggeliat keluar dari Sembilan lubang tubuhnya. Menahan mual yang bisa kulakukan.

“Orang ini telah melanggar janjinya, bagaimana pemuda, apakah kau bersedia menjalankan janjimu?”

“Aku bersedia ya Nusantara, aku sudah siap dengan segala apa yang akan terjadi. Ini semua demi Bangsa dan Negara Indonesia.”

“Baiklah kalau itu memang keinginanmu. Hai, Brawijaya dan Siliwangi berdirilah dihadapanku.”

“Baik Nusantara.” Jawab mereka berdua.

“Kalian berdua berikanlah kekuatan hati dan jiwa kalian terhadap pemuda itu. Tetapi berilah yang baik dan singkirkan yang buruk dari dalam jiwa dan raga kalian. Sampaikanlah keluh kesah kalian kepada Pemuda itu.”

“Baik Nusantara” Jawab mereka berdua.

Seketika dari dalam tubuh Brawijaya dan Siliwangi keluarlah cahaya yang begitu terang membentuk sebuah tulisan dilangit. Apa? Dua kalimat syahadat! Kedua leluhur itu mengucapkan sesuatu kepadaku. Terlihat dalam dua raga tetapi satu jiwa.

“Pemuda apa yang aku tuliskan di langit itu dapat dapat mensejahterakan alam Indonesia dan dapat memuliakan manusia tanpa membeda-bedakan agama, ras, maupun golongan, kalimat itu yang menjadikan bangsa Indonesia di cintai seluruh mahluk, karena kalimat itulah yang menjadikannya welas asih, yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit jiwa dan raga.

Pemuda ingat, kita ini bangsa besar, bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis dan tidak akan minta-minta, apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan singkong tetapi merdeka, daripada makan bistik tetapi budak. Wahai Pemuda suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tetapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa zaman sudah berganti. Pada saat itu geger di seluruh negara. Indonesia dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah **).

Tetapi ingat wahai pemuda teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi. Tanamkanlah jiwa para leluhur di dalam sanubari hatimu. Mengabdilah pada tanah air Indonesia dengan jiwa dan raga, sampai titik darah penghabisan, Terpecah belah tapi satu jualah, tiada kerancuan dalam kebenaran wahai pemuda!"

Meledak-ledak rasanya. Aku tak sanggup bicara. Aku coba meresapi makna yang ada dalam curahan hati mereka. Menghayati setiap kalimat yang bergoyang-goyang di masuk ke dalam kepalaku. Tersentak-sentak. Entah kenapa aku merasa sangat menyesal. Menyesal! Mengapa ada kehidupan fana? Mengapa Indonesia tidak ada di alam gaib saja? Tiba-tiba mereka kembali mengeluarkan kata-kata.

oh Pemuda…
sungguh berjuta benar
perjuanganku hanya sebatas ekstase fana
yang merasa sesal tak berguna

aku terkurung di dunia sandiwara
awalnya suci ternoda karsa
merebut kemerdekaan dalam senandung pengorbanan

Pemuda sayang, dengarkanlah kata-kata ini…
Mengabdi tuluslah pada negerimu…
sebelum…
sumpah kobarkan khianat dan doa padamkan kejujuran….
kini sudah saatnya kami menghilang…
mengasingkan diri….
Tuk menemani tangisan para leluhur…
                                                                                         

Brawijaya dan Siliwangi menghilang sekejap. Tulisan yang mereka buat dilangit juga menghilang. Belum sempat mulutku berbicara, suara berat Nusantara menggema, “Jadilah seperti sebuah kitab yang memberi petunjuk kepada bangsa dan negerimu. Aku tunggu janjimu Pemuda!”

Wushhh…. angin menerpa tubuhku. Rasa sejuk menusuk ke bagian tulang-tulangku. Terang sekali. Nyatanya cahaya matahari menerpa tubuhku. Hangat rasanya. Setengah sadar aku bangkit. Dan kepalaku menyentuh bunga edelweis. Samar-samar aku memandangi semua yang ada di sekelilingku. Huhhh deru nafas aku lepaskan karena hawa dingin ini. Ternyata aku telah tertidur pulas. Tertidur di puncak Hargo Dalem**) satu jam yang lalu. Aku tertunduk dan mengingat kembali. “Oh pemuda-pemuda tunggulah petunjuk ini. Akan kusampaikan ke seluruh negeri ini. Sekarang aku akan menjadi sebuah kitab.”

 

*) Serat Kalatidha karya Ronggowarsito yang tertuang dalam Serat Centhini jilid IV (karya Susuhunan Pakubuwono V) pada Pupuh 257 tembang 28 & 36.

**) Uga Wangsit Prabu Siliwangi.

**) Puncak Hargo Dalem: Salah satu puncak Gunung Lawu yang diyakini sebagai tempat moksa  (Jiwa dan raganya masuk dalam alam gaib) Prabu Brawijaya V.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun