Baru-baru ini banyak media mainstream dan sosial menggencarkan berita bernada "sungguh memalukan Indonesia". Asal mula beritanya dari hasil penelitian sejumlah ilmuwan di Stanford University. Pembaca mungkin sudah lebih tahu isi beritanya.Â
Yak! Berdasarkan penelitian tersebut, Indonesia -lebih tepatnya masyarakat Indonesia- menduduki peringkat pertama sebagai negara paling malas berjalan kaki. Kalau disimak dari pemilihan kata berupa "malas" maka tendensinya memang ke arah yang negatif. Tetapi, jangan terjebak sampai di sini saja.
Penulis ketika hendak menyelesaikan studi master tahun 2017 di salah satu universitas di North Queensland sempat mengajukan topik seputar "pedestrian". Penulis tergelitik dengan adanya jembatan penyeberangan pejalan kaki di beberapa kota yang pernah disinggahi. Terkhusus lagi penulis fokus pada beberapa "pedestrian bridge" di Kota Bandar Lampung.Â
Plus, penulis menyoroti budaya masyarakat setempat dalam menyeberangi jalan. Rangkaian ide telah disampaikan kepada Sang Profesor. Namun, berhubung kali itu penulis mendapatkan beasiswa sapu jagad alias beasiswa terakhir (kalau tidak mau disebut beasiswa sisa, hehehe), Sang Profesor mengkhawatirkan penelitian tersebut akan extend 1 semester lagi. Akhirnya, ide tersebut dikubur.
Pagi-pagi di bulan Oktober tahun 2019, Â Profesor dari Australia menghubungi penulis via Facebook. Beliau menyertakan link semacam majalah transportasi yang baru saja dipublikasikan di Amerika Serikat. Pendek kata, beliau meng-highlight: "Ini benar-benar mirip dengan apa yang akan kamu teliti beberapa tahun silam.". Sayang kalau boleh dibilang ya. Â
Sebuah ide yang muncul dari bumi Indonesia, sudah dirangkai eksekusinya seperti apa, dan ternyata beberapa tahun kemudian negara lain yang "memilikinya". Sebagai obat penyesalan, akhirnya sebuah tulisan opini berjudul Kajian Jembatan Penyeberangan Lampung terbit tanggal 19 Oktober 2019 di harian Lampung Post. Tulisan tersebut boleh dibilang sebagai rangkuman ide penelitian sejak 2017.
Penulis tentu orang Indonesia. Bahkan, kadang aksen medok jawanya muncul sebagai bagian dari keasliannya sebagai Indonesian. Lalu apakah penulis tersinggung dengan hasil penelitian Stanford? Jawabannya: Tidak! Berarti penulis tidak tahu malu dong?Â
Sudah jelas judul pemberitaan tersebut menghembuskan aura negatif, kan? Penulis tetap tidak tersinggung dengan pemberitaan tersebut. Bahkan, tidak juga punya niat untuk menjadikan diri sendiri menjadi rajin berjalan kaki. Kenapa?
Ini khusus bagi pembaca yang belum pernah ke negara lain yang iklimnya berbeda dengan Indonesia ya. Khususnya bepergian ke negara yang relatif lebih dingin. Namun, pembaca yang pernah ke negara seperti itu pun silakan tetap melanjutkan bacanya (jangan lupa komentar).Â
Budaya malas berjalan kaki sangat terkait dengan alam, lingkungan, dan iklim. Berjalan kaki di Indonesia seperti di Jakarta tentu akan berbeda dengan berjalan kaki di Sydney. Kenapa? Dari sisi iklimnya pun sudah berbeda. Iklim di Indonesia berasa jauh lebih panas dibanding Australia.Â
Berjalan kaki di Cairns juga berbeda dengan berjalan kaki di Kota Bandar Lampung. Cairns menyuguhkan alam yang masih asri. Kota Bandar Lampung lebih agresif mengonversikan alam yang asri ke "tanaman beton". Selain itu, jumlah kendaraan yang menghembuskan asap serta panas juga berbeda jumlah secara signifikan di dua tempat tersebut. Penulis sebagai orang yang malas berjalan kaki di Indonesia, mendadak nyaman berjalan kaki di Cairns.Â
Berjalan kaki berkilo-kilo meter di Cairns tidak membuat kita berkeringat dan baju pun tetap bersih tak berbau. Itu berjalan kaki di pinggir jalan raya di siang hari loh! Bayangkan apa yang akan terjadi jika berjalan kaki di koridor pedestrian di sepanjang jalan raya di Indonesia.Â
Si pejalan kaki akan berkeringat, baju menjadi basah, dan baju pun kotor terkena asap kendaraan. Oia satu lagi, baju pasti akan berbau! Bau asap kendaraan dan rokok dari orang-orang di sepanjang jalan akan bersemayam di setiap helai benang pakaian kita! Pengalaman saya selama di Australia, bau-bau itu tidak ditemukan! Itu baru masalah alam, lingkungan, dan iklim ya.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan secara sederhana, infrastruktur juga sangat mempengaruhi budaya pedestrian. Trotoar di Australia (penulis lebih suka menggambarkan Australia karena belum pernah ke negara lain) dibuat nyaman untuk berjalan kaki.Â
Bahkan, tak jarang terlihat orang disabilitas dengan kursi rodanya berjalan smooth di trotoar tanpa bantuan siapa pun. Bagaimana dengan di Indonesia? Trotoar biasanya sempit sehingga sulit untuk berpapasan, apalagi bagi pengguna kursi roda.Â
Di banyak titik trotoar beralih fungsi menjadi lapak-lapak semi permanen. Hasilnya, pejalan kaki harus mengalah turun ke jalan raya untuk menghindari lapak-lapak tersebut. Pada kondisi ini, faktor keselamatan perlu dipertanyakan.Â
Dari sisi pemilihan material, sepertinya peran urban planner di luar negeri lebih diperhatikan. Berjalan di siang hari yang terik tidak menyilaukan mata bahkan ketika kita menunduk. Berjalan di bawah derasan hujan pun tidak menyebabkan terpeleset. Itu di Cairns. Di kota tempat tinggal penulis, material trotoar berupa keramik glossy yang memantulkan sinar secara kuat di siang hari dan licin ketika terkena air. Lagi-lagi, keselamatan dan kenyamanan di masing-masing daerah dan negara berbeda kan?
Bagaimana dengan kemudahan akses? Berjalan kaki dengan beragam tujuan dan kebutuhan tentu tak selalu cukup menyusuri satu koridor jalan saja. Ada kalanya pejalan kaki butuh menyeberang untuk pindah ke koridor lain. Indonesia mengadopsi dua macam cara menyeberang. Pertama dengan zebracross dan kedua dengan jembatan penyeberangan.Â
Keduanya, kalau boleh penulis nilai secara kasar, relatif tidak representatif. Zebracross biasanya diletakkan di ujung-ujung jalan di dekat traffic light. Untuk kondisi alam yang kurang nyaman untuk berjalan kaki di bawah terik seperti Indonesia, peletakan zebracross di ujung-ujung jalan relatif memberatkan pejalan kaki.Â
Namun, menjadikannya terbentang banyak di sepanjang jalan juga tidak produktif jika memperhatikan jumlah pengendara yang luar biasa banyak di negeri ini. Alternatif yang sebetulnya bisa dibangun untuk menyeberang tanpa mengabaikan faktor keselamatan adalah jembatan penyeberangan. Namun, lagi-lagi jembatan penyeberangan bukan menjadi tool favorit bagi pedestrian.
Hasil polling penulis tahun 2017 memperlihatkan bahwa ada hal-hal yang membuat pejalan kaki enggan menggunakan jembatan penyeberangan. Hal yang tidak disukai dari jembatan penyeberangan adalah desainnya yang menguras tenaga, kebersihan tidak diperhatikan, perawatan jembatan diabaikan, dan tak jarang ada tindak kejahatan di jembatan penyeberangan.Â
Tenaga yang dibutuhkan untuk menaiki dan menuruni jembatan penyeberangan luar biasa banyak. Tak jarang desainnya pun terkesan ogah-ogahan, naik tangga jembatan berasa naik tangga untuk membetulkan genteng rumah. Kemiringan tangga tak jarang curam, dan tinggi tiap anak tangga tak jarang tak masuk akal.Â
Di banyak tempat, posisi strategis jembatan yang memotong jalan menarik minat para pengiklan untuk memasang baliho. Akibatnya, samping kanan kiri jembatan penyeberangan tertutup papan-papan jumbo dan membuatnya menjadi semacam terisolir.Â
Hal tersebut diperparah dengan aksi kencing sana-sini para oknum yang tak bertanggung jawab. Dan tak jarang berita penjambretan dan pelecehan terjadi di jembatan dengan kondisi seperti itu.
Lantas, apa yang perlu kita perbuat untuk menanggapi berita Indonesia sebagai negara malas? Sebagai pribadi warga negara kita dapat berperan aktif mendukung kenyamanan berjalan kaki. Kita yang punya lapak kaki lima seyogyanya mulai mencari posisi yang tidak lagi merugikan pejalan kaki alias pengguna trotoar.Â
Kita yang punya tanah di dekat jalan alangkah lebih baik jika menyumbangkan tanaman/pohon perindang. Keberadaan pepohonan akan menciptakan efek breeze. Angin semilir ini menjadi bagian dari konsep Urban Thermal Comfort yang digagas JCU TUDLab, kampus penulis.Â
Kita yang selama ini sudah berjalan kaki maka kita ingatkan kepada diri sendiri untuk tidak buang air kecil di sepanjang jalan. Bagaimana dengan yang bukan pejalan kaki? Kita yang memiliki kendaraan, pastikan kondisi kendaraan kita prima. Kendaraan yang sehat akan mengeluarkan emisi yang tingkat merusaknya minimal. Â
Kita yang sebagai pengendara juga mulai biasakan menghargai penyeberang jalan. Kalau misal penyeberang jalan sudah diberi kesempatan menyeberang tetapi tidak juga mempercepat langkahnya, beri saja aba-aba dengan tangan agar sadar bahwa kita sedang menunggunya menyeberang, bukan karena kita sedang parkir!Â
Di sisi lain, tentu kita berharap pemerintah dan masyarakat berkolaborasi mewujudkan jalur pedestrian yang humanis dan nyaman. Pemerintah menyiapkan desain dan anggarannya. Sementara masyarakat mempermudah proses pengadaan tanahnya (apabila diperlukan pembebasan tanah).Â
Satu kata yang hilang dari Indonesia adalah komunikasi antara user dan provider! Pengguna jalur pedestrian (user) tidak memiliki cukup kanal untuk berinteraksi dengan penyedia/pemerintah (provider).Â
Semoga apabila semua dapat dikondisikan, peringkat kita naik! Dan semoga tingkat kesehatannya pun naik. Tetapi apabila kondisi yang nyaman tidak bisa diwujudkan, ya sudah lah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H