Berjalan kaki di Cairns juga berbeda dengan berjalan kaki di Kota Bandar Lampung. Cairns menyuguhkan alam yang masih asri. Kota Bandar Lampung lebih agresif mengonversikan alam yang asri ke "tanaman beton". Selain itu, jumlah kendaraan yang menghembuskan asap serta panas juga berbeda jumlah secara signifikan di dua tempat tersebut. Penulis sebagai orang yang malas berjalan kaki di Indonesia, mendadak nyaman berjalan kaki di Cairns.Â
Berjalan kaki berkilo-kilo meter di Cairns tidak membuat kita berkeringat dan baju pun tetap bersih tak berbau. Itu berjalan kaki di pinggir jalan raya di siang hari loh! Bayangkan apa yang akan terjadi jika berjalan kaki di koridor pedestrian di sepanjang jalan raya di Indonesia.Â
Si pejalan kaki akan berkeringat, baju menjadi basah, dan baju pun kotor terkena asap kendaraan. Oia satu lagi, baju pasti akan berbau! Bau asap kendaraan dan rokok dari orang-orang di sepanjang jalan akan bersemayam di setiap helai benang pakaian kita! Pengalaman saya selama di Australia, bau-bau itu tidak ditemukan! Itu baru masalah alam, lingkungan, dan iklim ya.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan secara sederhana, infrastruktur juga sangat mempengaruhi budaya pedestrian. Trotoar di Australia (penulis lebih suka menggambarkan Australia karena belum pernah ke negara lain) dibuat nyaman untuk berjalan kaki.Â
Bahkan, tak jarang terlihat orang disabilitas dengan kursi rodanya berjalan smooth di trotoar tanpa bantuan siapa pun. Bagaimana dengan di Indonesia? Trotoar biasanya sempit sehingga sulit untuk berpapasan, apalagi bagi pengguna kursi roda.Â
Di banyak titik trotoar beralih fungsi menjadi lapak-lapak semi permanen. Hasilnya, pejalan kaki harus mengalah turun ke jalan raya untuk menghindari lapak-lapak tersebut. Pada kondisi ini, faktor keselamatan perlu dipertanyakan.Â
Dari sisi pemilihan material, sepertinya peran urban planner di luar negeri lebih diperhatikan. Berjalan di siang hari yang terik tidak menyilaukan mata bahkan ketika kita menunduk. Berjalan di bawah derasan hujan pun tidak menyebabkan terpeleset. Itu di Cairns. Di kota tempat tinggal penulis, material trotoar berupa keramik glossy yang memantulkan sinar secara kuat di siang hari dan licin ketika terkena air. Lagi-lagi, keselamatan dan kenyamanan di masing-masing daerah dan negara berbeda kan?
Bagaimana dengan kemudahan akses? Berjalan kaki dengan beragam tujuan dan kebutuhan tentu tak selalu cukup menyusuri satu koridor jalan saja. Ada kalanya pejalan kaki butuh menyeberang untuk pindah ke koridor lain. Indonesia mengadopsi dua macam cara menyeberang. Pertama dengan zebracross dan kedua dengan jembatan penyeberangan.Â
Keduanya, kalau boleh penulis nilai secara kasar, relatif tidak representatif. Zebracross biasanya diletakkan di ujung-ujung jalan di dekat traffic light. Untuk kondisi alam yang kurang nyaman untuk berjalan kaki di bawah terik seperti Indonesia, peletakan zebracross di ujung-ujung jalan relatif memberatkan pejalan kaki.Â
Namun, menjadikannya terbentang banyak di sepanjang jalan juga tidak produktif jika memperhatikan jumlah pengendara yang luar biasa banyak di negeri ini. Alternatif yang sebetulnya bisa dibangun untuk menyeberang tanpa mengabaikan faktor keselamatan adalah jembatan penyeberangan. Namun, lagi-lagi jembatan penyeberangan bukan menjadi tool favorit bagi pedestrian.
Hasil polling penulis tahun 2017 memperlihatkan bahwa ada hal-hal yang membuat pejalan kaki enggan menggunakan jembatan penyeberangan. Hal yang tidak disukai dari jembatan penyeberangan adalah desainnya yang menguras tenaga, kebersihan tidak diperhatikan, perawatan jembatan diabaikan, dan tak jarang ada tindak kejahatan di jembatan penyeberangan.Â