Mohon tunggu...
Febri Lailatusshiva
Febri Lailatusshiva Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa S1

Blog ini ditujukan untuk mengembangkan penulisan saya. Semoga bisa bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Persepsi Peranan Perempuan terhadap Budaya Politik dengan Hadirnya Budaya Patriarki

8 Oktober 2022   16:58 Diperbarui: 8 Oktober 2022   17:29 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengantar 

Budaya patriarki merupakan budaya yang masih melekat hingga detik ini pada susunan masyarakat Indonesia. Berbagai aspek yang dapat ditemukan dari budaya patriarki ini, baik dari pendidikan, ekonomi, hukum, hingga politik. Faktanya budaya patriarki ini di Indonesia telah menciptakan konflik yang mengatasnamakan kebebasan pada perempuan dan hak perempuan. 

Padahal Indonesia sendiri notabenenya adalah suatu negara hukum, akan tetapi konflik yang ada belum sepenuhnya diakomodasi dari hukum itu sendiri. Perempuan masih dicap terlalu lokal, sehingga terbilang lemah dan tidak adil gender.

Kebudayaan masyarakat di Indonesia didominasi oleh adanya sistem patriarki, sehingga hal ini memunculkan ketidakadilan gender yang tentu mempengaruhi kegiatan manusia dalam berbagai aspek. 

Budaya patriarki ini membawa kesenjangan, karena pada hakikatnya seorang laki-laki disadarkan mempunyai posisi dan kekuasaan pokok terhadap lingkup masyarakat dan selalu menyampingi seorang perempuan, karena dirasa sekedar mempunyai konsekuensi kecil bahkan tidak sedikit pun menguasai prerogatif bagian tertentu ketika bermasyarakat, terlebih di bidang ekonomi, sosial, dan politik. 

Peran perempuan yang dibatasi oleh adanya budaya patriarki ini membuat banyak perempuan merasa menjadi korban diskriminasi, padahal laki-laki dan perempuan semestinya memang memiliki peran yang berbeda dalam masyarakat, akan tetapi perlu dipertimbangkan kembali dengan adanya ketidaksetaraan struktural ini tentu akan menghalangi setiap orang untuk menikmati hak yang sama.

Partisipasi perempuan terutama di ranah politik tergolong sangatlah rendah, meskipun sudah dikeluarkan suatu kebijakan khusus bagi perempuan oleh pemerintah, budaya politik patriarki masih saja menjadi hambatan pokok dalam pengoptimalan partisipasi perempuan di ranah politik. 

Perempuan dalam budaya patriarki ini memiliki tingkatan pada nomor dua dan selalu dibedakan beriringan dengan peranannya pada lingkup masyarakat. Padahal sudah cukup jelas bahwa perempuan mempunyai hak untuk memutuskan dirinya sendiri. Tidak ada salahnya seorang perempuan berani bersuara dan beraksi untuk mendapatkan haknya.  

Impresi Perempuan Terhadap Budaya Politik 

Di Indonesia, masuknya perempuan dalam ranah politik belum membawa kegembiraan. Terutama terkait hasil pemilu dari pergantian tiap tahunnya. Terlepas dari kenyataan bahwa laki-laki masih menjadi mayoritas kepemimpinan senior dalam pemerintahan, dari federal hingga lokal hingga tingkat desa. 

Kata mayoritas dalam konteks ini bukan berarti tidak ada tokoh politik atau pemimpin perempuan di sektor publik, sebaliknya, itu hanya berarti bahwa jumlah mereka jauh lebih rendah daripada pemimpin laki-laki dan tokoh politik. 

Padahal kenyataannya, jumlah perempuan melebihi jumlah laki-laki dalam populasi Indonesia. Perempuan dipandang hanya cukup untuk mematuhi keputusan yang dibuat oleh laki-laki yang dianggap memiliki kontrol lebih besar atas politik dan patriarki lainnya, yang berdampak pada kebijakan umum terhadap kesetaraan perempuan yang dipegang kuat oleh laki-laki. Laki-laki juga memaknai bahwa politik tidak pantas bagi perempuan.

Sebagaimana pada pemikiran Vicky Randall (1982) memberi petunjuk apabila kuantitas proses pengambilan keputusan perempuan lebih banyak, maka akan mengubah fokus kehidupan politik. Misalnya, akan ada peningkatan liputan politik tentang konflik dan topik yang sebelumnya dianggap non-politis, seperti kesejahteraan anak dan kesehatan reproduksi perempuan. 

Menurutnya, politik akan lebih bermoral jika perempuan lebih fokus pada masalah politik tradisional seperti ekonomi, lingkungan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial dibandingkan dengan yang lebih kontroversial seperti perseteruan, tenaga nuklir, dan perhitungan untuk membayar amunisi. Faktanya sudah jelas, bahwa ungkapan Randall ini yang ada di Indonesia saat ini adalah menjadi bukti validitasnya.

Pasal 27 UUD 1945 dan UU No. 7 1984 yang meratifikasi konferensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan, keduanya telah menegaskan bahwasanya hal ini terjamin kesetaraan di antara laki-laki di Indonesia (Pudji, 2008). 

Pasal 7 perjanjian ini, yang antara lain menjamin persamaan hak untuk memilih dan dipilih, mengatur tentang partisipasi politik perempuan. Jaminan untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan, ikut serta dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan, serta melakukan semua tugas yang berhubungan dengan pemerintahan pada semua tingkatan. Ikut serta dalam perkumpulan dan organisasi. 

Organisasi non-pemerintah yang fokus pada politik negara dan kehidupan publik (Pudji, 2008).

Semua undang-undang dan peraturan tidak boleh mendiskriminasi perempuan,  hal ini sudah jelas telah digarisbawahi. Tetapi kenyataannya berbeda, keterlibatan politik perempuan masih minim dan kurang terwakili di bidang pengambilan keputusan di mana kebijakan dan pilihan yang signifikan telah dibuat.

Budaya patriarki, dalam pandangan Beauvoir, menunjukkan dengan sangat rinci apa artinya menjadi seorang wanita, individu nomor dua, melalui sistem pendidikan, hukum, ritual, norma, dan nilai-nilainya. Wanita diciptakan, bukan dilahirkan (Pranowo, 2013). 

Maksudnya jika berada pada hukum, perempuan selalu harus ada dalam perwalian, tidak bisa mewakili dirinya sendiri. Dia percaya bahwa keuntungan perempuan adalah kesetiaan mereka kepada laki-laki, yang mana hal ini merupakan komponen penting bagi seorang perempuan.

Dalam budaya patriarki adalah umum bagi tokoh terkemuka, seperti politisi perempuan, untuk merasa tertekan untuk mengelola rumah tangga mereka juga. Ketika seorang tokoh perempuan terlibat di mata publik, tidak dihitung siapa yang bersalah atau apa akar masalahnya. 

Namun, kurangnya atau perselisihan dalam kehidupan rumah tangga tidak dapat dihindari karena wanita. Hal tersebut memadatkan tindakan perempuan supaya bergerak untuk mengutarakan keberadaannya dan melukiskan sketsa supremasi gaya hidup patriarki, yang meletakkan kedudukan wanita dalam ranah rumah tangga dan privasinya.

Dalam citra perempuan budaya patriarki ini telah memagari akses perempuan ke posisi politik, atau menguasai pimpinan politik yang lebih jauh. Menurut budaya patriarki, laki-laki memang memegang mayoritas otoritas dalam berbagai profesi, termasuk politik. 

Sehingga hal ini membawa kebenaran bahwa perempuan sekedar untuk cadangan dalam mengisi kekosongan yang disebabkan oleh seorang anggota keluarga laki-laki baik karena kematian atau terlibat kasus.

Jadi pada dasarnya masyarakat menyambut perempuan dalam posisi kepemimpinan politik meskipun mereka percaya bahwa perempuan tidak memiliki bakat untuk terjun ke politik secara langsung serta dianggap tindakan mereka masih dapat menjunjung tinggi reputasi keluarga mereka. Ternyata memiliki hubungan keluarga dengan tokoh politik besar memberi peluang lebih besar bagi perempuan untuk menduduki posisi kepemimpinan politik.

Indira Gandhi, Cory Aquino, Benazir Bhutto, Megawati Sukarnoputri, dan Aung San Suu Kyi, semuanya berasal dari lingkaran kerabat yang aktif secara politik di tanah airnya. Tentu saja, mereka adalah pemimpin perempuan dari eselon teratas negara mereka. 

Akibatnya berdampak pada kemampuan mereka dalam mengelola sosialisasi politik dan tingkat pendidikan. Tentu saja, mengingat tingkat pendidikan mereka yang lebih tinggi, lebih banyak orang seperti mereka akan memanfaatkan kesempatan ini. 

Mirip dengan kenaikan Megawati Sukarnoputri, yang didorong oleh perasaan mesra dan kerinduan untuk ayahnya atau lingkaran sanak saudara laki-laki lainnya yang telah menonjol secara politik dan berharap dapat "menghidupkan kembali gaya manajemen Bung Karno" (Pudji, 2008).

Pandangan Budaya Politik 

Budaya politik didefinisikan sebagai "Orientasi eksklusif masyarakat tanah air tentang sistem politik dan berbagai komponennya, serta perilaku mengenai posisi warga negara dalam sistem." (Almond, 1990). Mengingat Indonesia adalah negara demokrasi, tidak perlu dikatakan lagi bahwa perempuan harus berperan aktif dalam pengambilan keputusan politik untuk mengakhiri perbudakan laki-laki terhadap perempuan. 

Stigma yang melekat pada kelemahan perempuan dalam pengambilan keputusan di masyarakat tentunya harus sejalan dengan norma-norma yang ditetapkan oleh laki-laki untuk mencegah perempuan berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat.

Pemilih perempuan mungkin mengalami kecenderungan ini, terutama jika mereka berada di kampus perguruan tinggi. Pemikiran kritis dan rasionalitas memang sudah sepatutnya mahasiswa harus dikembangkan sedemikian rupa oleh civitas universitas. 

Mahasiswa khususnya yang berada di Fakultas Ilmu Sosial merupakan pakar akademik dalam bidang teori sosial dan politik yang berkaitan langsung dengan pendidikan politik publik, namun pada kenyataannya kemampuan berpikir kritis dan rasionalitasnya terkendala oleh nilai-nilai budaya masyarakat di luar kampus. 

Hal ini menyebabkan konflik antara orientasi budaya politik peserta siswa dan bagian dari sikap pilihan politik di mana siswa sangat mengacu pada pemikiran kritis dan logis. 

Kesadaran dan aspirasi idealis mahasiswa sebagai pemilih tentunya cukup optimis dan akan logis sesuai dengan latar belakang orientasi budaya politik peserta bila dilihat langsung dari lapangan. Fokus pada keputusan politik logis yang harus didasarkan pada analisis keuntungan dan kerugian harus disorot lebih lanjut.

Dalam aspek dari sisi gender sebagian mahasiswa laki-laki memiliki rasionalitas dengan nalar kritis dalam politik pilihan, hampir semua preferensi dan keputusan politik mahasiswa dipengaruhi oleh pilihan politik patriarki keluarga, nalar kritis mahasiswa tidak termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari jika dikaitkan dari perspektif politik (Mahmud, 2009). 

Harus ditekankan bahwa memilih perempuan berdasarkan kecenderungan politik mereka harus mempertimbangkan budaya politik peserta itu sendiri. Ini jelas berarti bahwa keputusan politik harus didukung oleh pertimbangan politik yang logis dan kritis, yang memiliki kecenderungan untung rugi dan memiliki insentif untuk belajar dari tindakan yang diambil sebelumnya atau selama pemerintahannya.

Kesimpulan 

Selain berbagai kesulitan, kekurangan, hambatan, keuntungan, dan kelebihan yang dihadapi perempuan dalam politik. Realitasnya, agar dapat dihasilkan konstruksi baru sebagai respons atas kehadiran perempuan dalam politik, kita harus mampu dan mau melakukan reorganisasi. 

Tentu saja, seorang perempuan memiliki hak untuk mengekspresikan kebutuhan, keinginan, dan aspirasinya sebagai seorang wanita. Karena kehadiran perempuan yang aktif berpartisipasi dalam politik di berbagai bidang, baik rumah tangga maupun publik. Terutama jika perempuan bekerja sama untuk memajukan status mereka tanpa merendahkan perempuan lain dan jika mereka mengakui kesetaraan satu sama lain dengan laki-laki.        

Ketika pejabat negara secara struktural tidak sensitif terhadap isu gender atau perempuan, maka definisi prasangka gender sama sekali tidak akan menggantikan keadilan gender, dan masyarakat tentu akan terus membantu produksi sosial disparitas gender yang sudah ada di masyarakat. 

Lebih jauh, ada banyak masalah sosial yang memiliki akar alasan yang sama, terutama tradisi patriarki yang meresap. Berjuang untuk sistem dan ketidakadilan masyarakat dan cara hidup patriarki, yang tentu saja membawa reputasi buruk, sama pentingnya bagi wanita seperti halnya untuk memerangi pria. 

Sebagai ahli materi, sosial di sini sangat kuat dalam membantu mengatasi berbagai isu yang muncul dan kehadiran budaya patriarki ini, terutama secara terencana, membantu kelancaran lukisan untuk kebijakan alternatif yang bertentangan dengan bias gender dengan penciptaan yang lebih adil dan mudah diubah. Kebijakan yang lebih adil terhadap diskriminasi atas dasar gender. Ini bermanfaat bagi wanita, jadi ini pasti harus dikejar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun