Dalam citra perempuan budaya patriarki ini telah memagari akses perempuan ke posisi politik, atau menguasai pimpinan politik yang lebih jauh. Menurut budaya patriarki, laki-laki memang memegang mayoritas otoritas dalam berbagai profesi, termasuk politik.Â
Sehingga hal ini membawa kebenaran bahwa perempuan sekedar untuk cadangan dalam mengisi kekosongan yang disebabkan oleh seorang anggota keluarga laki-laki baik karena kematian atau terlibat kasus.
Jadi pada dasarnya masyarakat menyambut perempuan dalam posisi kepemimpinan politik meskipun mereka percaya bahwa perempuan tidak memiliki bakat untuk terjun ke politik secara langsung serta dianggap tindakan mereka masih dapat menjunjung tinggi reputasi keluarga mereka. Ternyata memiliki hubungan keluarga dengan tokoh politik besar memberi peluang lebih besar bagi perempuan untuk menduduki posisi kepemimpinan politik.
Indira Gandhi, Cory Aquino, Benazir Bhutto, Megawati Sukarnoputri, dan Aung San Suu Kyi, semuanya berasal dari lingkaran kerabat yang aktif secara politik di tanah airnya. Tentu saja, mereka adalah pemimpin perempuan dari eselon teratas negara mereka.Â
Akibatnya berdampak pada kemampuan mereka dalam mengelola sosialisasi politik dan tingkat pendidikan. Tentu saja, mengingat tingkat pendidikan mereka yang lebih tinggi, lebih banyak orang seperti mereka akan memanfaatkan kesempatan ini.Â
Mirip dengan kenaikan Megawati Sukarnoputri, yang didorong oleh perasaan mesra dan kerinduan untuk ayahnya atau lingkaran sanak saudara laki-laki lainnya yang telah menonjol secara politik dan berharap dapat "menghidupkan kembali gaya manajemen Bung Karno" (Pudji, 2008).
Pandangan Budaya PolitikÂ
Budaya politik didefinisikan sebagai "Orientasi eksklusif masyarakat tanah air tentang sistem politik dan berbagai komponennya, serta perilaku mengenai posisi warga negara dalam sistem." (Almond, 1990). Mengingat Indonesia adalah negara demokrasi, tidak perlu dikatakan lagi bahwa perempuan harus berperan aktif dalam pengambilan keputusan politik untuk mengakhiri perbudakan laki-laki terhadap perempuan.Â
Stigma yang melekat pada kelemahan perempuan dalam pengambilan keputusan di masyarakat tentunya harus sejalan dengan norma-norma yang ditetapkan oleh laki-laki untuk mencegah perempuan berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat.
Pemilih perempuan mungkin mengalami kecenderungan ini, terutama jika mereka berada di kampus perguruan tinggi. Pemikiran kritis dan rasionalitas memang sudah sepatutnya mahasiswa harus dikembangkan sedemikian rupa oleh civitas universitas.Â
Mahasiswa khususnya yang berada di Fakultas Ilmu Sosial merupakan pakar akademik dalam bidang teori sosial dan politik yang berkaitan langsung dengan pendidikan politik publik, namun pada kenyataannya kemampuan berpikir kritis dan rasionalitasnya terkendala oleh nilai-nilai budaya masyarakat di luar kampus.Â