cashless). Pembayaran cashless sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat sehari-hari, entah untuk sekedar belanja di marketplace, pembayaran transportasi atau pesan makanan online, dan sebagainya.
Tak dipungkiri, adanya pandemi Covid-19 memiliki kontribusi yang tinggi dalam mengubah pola transaksi masyarakat dari era tunai menjadi nontunai (Menurut katadata.co.id, tingginya minat masyarakat Indonesia menggunakan transaksi uang elektronik pada tahun 2022 mencapai Rp 399,6 triliun atau melonjak 30,84% dibandingkan tahun 2021. Lalu, bagaimana minat Satuan Kerja (Satker) Kementerian Negara/Lembaga terkait implementasi cashless dalam pengelolaan APBN?
Perkembangan Digitalisasi dalam Pengelolaan APBN
Pemerintah sebenarnya sudah mencanangkan modernisasi dalam pengelolaan APBN jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia termasuk Indonesia.
Langkah pemerintah tersebut dilakukan dalam mendukung Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang dicanangkan Bank Indonesia pada tahun 2014, dengan tujuan untuk menciptakan sistem pembayaran yang aman, efisien dan lancar, dimana gilirannya GNNT akan dapat mewujudkan ekosistem cashless society.
Selain itu, terbitnya Instruksi Presiden RI Nomor 10 tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2016 dan 2017 juga menjadi faktor pendorong transaksi cashless di lingkup pemerintahan.
Penguatan budaya nontunai yang telah dilakukan pemerintah dalam pengelolaan APBN diantaranya:
1. Â Pendebitan Rekening Bendahara melalui Internet Banking
Hal ini ditandai dengan terbitnya regulasi pada akhir tahun 2016 yang diantaranya mengatur pendebitan rekening Bendahara yang dilakukan dengan menggunakan layanan perbankan secara elektronik melalui internet banking, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 230/PMK.05/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.05/2013 Tentang Kedudukan dan Tanggung Jawab Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola APBN.
Dengan adanya internet banking sebagai salah satu layanan bank yang memungkinkan nasabah untuk memperoleh informasi, melakukan komunikasi, dan melakukan transaksi perbankan melalui jaringan internet, diharapkan Bendahara Pengeluaran pada Satker pengelola APBN dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih efektif dan efisien, tanpa harus datang ke kantor cabang Bank tempat membuka rekening. Â
2. Â Implementasi Kartu Kredit Pemerintah
Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah menggandeng tiga bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) yaitu Bank Mandiri, BRI dan BNI untuk melakukan modernisasi sistem pembayaran APBN secara nontunai melalui implementasi Kartu Kredit Pemerintah (KKP) pada tahun 2019, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.05/2018 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah.
Tujuan diimplementasikannya KKP dalam mendukung budaya cashless antara lain meminimalisasi penggunaan uang tunai dalam transaksi keuangan negara, meningkatkan keamanan dalam bertransaksi, mengurangi potensi fraud dari transaksi secara tunai, dan mengurangi cost of fund/idle cash dari penggunaan Uang Persediaan (UP).
3. Â Restrukturisasi Rekening dan Implementasi Digital Payment
Tak berhenti di situ, pada tahun 2020 sampai dengan 2021 pemerintah kembali melakukan gebrakan melalui restrukturisasi rekening pengeluaran dan implementasi Digital Payment.
Restrukturisasi rekening adalah perubahan struktur rekening dari rekening giro menjadi rekening virtual (virtual account) yang dikonsolidasikan ke dalam sebuah rekening induk, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.05/2019 tentang Pengelolaan Rekening Pengeluaran Milik Kementerian Negara/Lembaga.
Sedangkan Digital Payment (Digipay) adalah pembayaran dengan mekanisme overbooking/pemindahbukuan dari Rekening Pengeluaran secara elektronik dengan Kartu Debit/Cash Management System (CMS) atau pendebetan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) ke Rekening Penyedia Barang/Jasa, dalam rangka penggunaan uang persediaan melalui sistem marketplace, berdasarkan Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER-20/PB/2019 tentang Uji Coba Penggunaan Uang Persediaan melalui Sistem Marketplace dan Digital Payment pada Satuan Kerja.
Implementasi Virtual Account secara masif dilakukan pada sekitar 22.000 rekening pengeluaran, dengan fasilitas Cash Management System (CMS), kartu debit, serta pengembangan Digipay di seluruh Kementerian Negara/Lembaga.
Restrukturisasi rekening pengeluaran ini diharapkan dapat mendorong simplifikasi, efisiensi dan efektivitas Satker dalam pelaksanaan APBN, karena terdapat pengurangan yang signifikan terhadap jumlah rekening yang semula ribuan menjadi lebih sedikit mengingat rekening induk cukup dibuka pada tingkat eselon I Kementerian Negara/Lembaga.
Modernisasi rekening pengeluaran pada Satker juga memiliki tujuan meningkatkan akuntabilitas, transparansi, serta keamanan dana APBN, karena semua pihak yang terkait yaitu Satker, eselon I Kementerian Negara/Lembaga selaku pemegang rekening induk, sampai Bendahara Umum Negara (BUN) bisa memantau kegiatan dan saldo rekening secara realtime melalui dashboard rekening yang tersedia dalam sistem.
4. Implementasi Kartu Kredit Pemerintah Domestik dan QRIS
Pada tahun 2022, pemerintah meluncurkan Kartu Kredit Pemerintah Domestik (KKP Domestik) dan QRIS sebagai tindak lanjut digitalisasi sistem pembayaran untuk pembelian barang dan jasa pemerintah baik pusat maupun daerah, yang merupakan bentuk implementasi Inpres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi Dalam Rangka Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
KKP Domestik adalah Kartu Kredit Pemerintah dengan menggunakan skema pemrosesan domestik yang dapat digunakan untuk transaksi pembayaran di Indonesia, berdasarkan Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER-12/PB/2022 tentang Tata Cara Pembayaran atas Beban APBN dengan menggunakan Kartu Kredit Domestik, dimana KKP Domestik ini sebagai pengembangan KKP yang telah diimplementasikan sebelumnya.Â
Tujuan penerbitan KKP Domestik yaitu mengurangi ketergantungan impor, mengefisiensikan biaya pemrosesan, mengedepankan kemandirian nasional, mengamankan data dan transaksi, mengoptimalkan skema domestik, dan memperluas akseptasi khususnya Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi (UMKM).
KKP Domestik digunakan oleh Satker saat melakukan belanja barang/jasa produk dalam negeri seperti pembelian ATK, pemeliharaan peralatan dan mesin, jamuan, tiket, penginapan, sewa dan lain-lain, dimana penggunaan KKP Domestik diutamakan untuk pembelian produk dalam negeri yang disediakan oleh UMKM, dan pembayarannya menggunakan QRIS pada aplikasi mobile banking dari tiga bank Himbara yaitu Bank Mandiri, BRI dan BNI.
Dana APBN yang dapat Dikelola secara Cashless oleh Satker Pengelola APBN
Dalam pelaksanaan APBN, setiap Satker mendapatkan alokasi pagu anggaran sebagai batas pengeluaran tertinggi yang tertuang dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yaitu dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan pengguna anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
DIPA berfungsi sebagai dasar pelaksanaan kegiatan bagi Satker, dasar pencairan dana/pengesahan bagi Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara, dan juga berfungsi sebagai alat pengendali, pelaksanaan, pelaporan, pengawasan APBN, dan perangkat akuntansi pemerintah.
Selanjutnya dalam rangka tata kelola keuangan APBN yang akuntabel, setiap Satker harus menetapkan Pejabat Perbendaharaan yang terdiri dari Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar (PPSPM), serta Bendahara Pengeluaran, dimana Bendahara Pengeluaran ini yang akan mengelola Uang Persediaan pada Satker tersebut.Â
Berdasarkan peraturan terbaru terkait pelaksanaan APBN yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62 Tahun 2023 tentang Perencanaan Anggaran, Pelaksanaan Anggaran, serta Akuntansi dan Pelaporan Keuangan, tetap diatur bahwa pembayaran tagihan kepada negara dapat dilakukan dengan mekanisme Pembayaran Langsung (LS) dan Uang Persediaan (UP).Â
Mekanisme LS adalah pembayaran yang dilakukan langsung kepada Bendahara Pengeluaran/penerima hak lainnya, sedangkan UP adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satker atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme Pembayaran LS.
Besaran UP yang diberikan kepada Satker sesuai kebutuhan UP Satker dalam 1 (satu) bulan yaitu maksimal sebesar 1/12 dari pagu jenis belanja yang dapat dibayarkan melalui UP, yaitu belanja barang, belanja modal dan belanja lain-lain maksimal Rp500 juta. Namun apabila kebutuhan UP dalam 1 (satu) bulan melebihi Rp500 juta, Satker dapat mengajukan perubahan besaran UP. Selanjutnya tiap bulan Satker mengajukan revolving UP (pengisian/penggantian kembali UP) paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
Selain itu, Satker juga dapat mengajukan Tambahan Uang Persediaan (TUP) untuk membiayai kegiatan yang mendesak apabila UP yang dimiliki tidak cukup, namun harus dipertanggungjawabkan dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan.
Uang yang dikelola Bendahara Pengeluaran baik dari pembayaran LS kepada Bendahara Pengeluaran maupun dari UP dan TUP itulah yang dapat diimplementasikan dengan transaksi cashless, dengan tujuan meningkatkan keamanan dalam bertransaksi, meminimalisasi uang tunai, mengurangi fraud dari transaksi tunai serta mengurangi idle cash.
Perkembangan Implementasi Cashless pada Satker Pengelola APBN
Jumlah Satker Pengelola APBN saat ini berjumlah 18.937 Satker dari 89 Kementerian Negara/Lembaga, dengan total pagu dana APBN tahun 2023 sebesar Rp1.076,162 triliun yang tertuang dalam DIPA dan dialokasikan untuk jenis belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan belanja bantuan sosial, sesuai data per 31 Agustus 2023.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa jenis belanja yang dapat dibayarkan dengan mekanisme Uang Persediaan (UP) yang dikelola Bendahara Pengeluaran adalah dana yang berasal dari jenis belanja barang, belanja modal dan belanja lain-lain.
Dari total pagu dana APBN tahun 2023 sebesar Rp1.076,162 triliun tersebut, alokasi untuk jenis belanja barang dan belanja modal sebesar Rp671,996 triliun. Sedangkan jumlah total UP dan TUP untuk seluruh Satker per 31 Agustus 2023 sebesar Rp5.613,54 miliar, yang memiliki potensi transaksi yang dapat dilakukan secara cashless dan dapat di-revolving.
Selanjutnya, bagaimana sebenarnya kondisi riil perkembangan implementasi cashless pada Satker Pengelola APBN?
Sejak metode pembayaran internet banking untuk transaksi pemerintah diluncurkan regulasinya pada akhir tahun 2016 dan telah dilakukan sosialisasi secara intensif, penggunaan internet banking oleh Bendahara Pengeluaran Satker masih tergolong rendah selama bertahun-tahun, yang diketahui pada saat dilakukan pembinaan kepada Satker.
Mengubah mindset Bendahara Pengeluaran untuk mengubah metode pembayaran dari cash menjadi cashless ternyata cukup sulit, padahal kelancaran Satker dalam menggunakan internet banking, dapat mempermudah implementasi kebijakan cashless selanjutnya yang diluncurkan pemerintah di kemudian hari.Â
Selanjutnya pada saat awal implementasi Kartu Kredit Pemerintah (KKP) dicanangkan pada tahun 2019 dan sosialisasi kepada Satker Pengelola APBN juga dilaksanakan secara masif, penggunaan KKP oleh Satker masih rendah.
Proporsi UP Tunai dan UP KKP yang sesuai ketentuan ditetapkan sebesar 60 : 40, artinya proporsi UP Tunai sebesar 60% dan UP KKP sebesar 40% dari jumlah total UP yang dimintakan Satker selama 1 (satu) bulan, juga sulit dipenuhi Satker. Hal ini tampak dari tingginya permintaan dispensasi Satker terkait perubahan proporsi UP Tunai menjadi 100% dengan berbagai alasan, dimana pada saat itu masih dimungkinkan mengingat masih masa transisi.
Cara pembayaran tagihan KKP yang masih berbayar apabila dilakukan di teller juga menjadi salah satu isu pada saat itu. Hal tersebut seharusnya tidak akan menjadi masalah apabila Bendahara Pengeluaran Satker telah mengimplementasikan internet banking, karena KKP yang diterbitkan harus sama dengan Bank dimana rekening Bendahara Pengeluaran dibuka dan tentunya tidak berbayar.
Dalam perkembangan selanjutnya, dengan adanya pandemi Covid-19 pada tahun 2020 sampai tahun 2022 dimana digitalisasi sistem pembayaran meningkat dengan pesat di berbagai sektor, penggunaan KKP untuk pengelolaan APBN juga mengalami peningkatan walaupun tidak terlalu signifikan. Peluncuran KKP Domestik dan pembayarannya menggunakan QRIS pada tahun 2022 menambah pilihan Satker untuk bertransaksi cashless selain KKP konvensional.
Pada tahun anggaran 2023, untuk meningkatkan transaksi baik UP Tunai, KKP konvensional dan KKP Domestik, proporsi UP Tunai tetap 60% sedangkan 40% terbagi untuk UP KKP konvensional dan KKP Domestik dengan memberikan kebebasan kepada Satker untuk menentukan proporsi KKP tersebut.
Dengan proporsi tersebut, diharapkan Satker secara konsisten dapat menggunakan KKP dalam pengelolaan UP di lingkup Satker masing-masing. Namun apabila Satker masih memerlukan perubahan porsi antara UP Tunai dan UP KKP, maka Satker dapat mengajukan dispensasi ke Kanwil Ditjen Perbendaharaan di tingkat provinsi yang diberikan secara selektif.
Sejauh mana penggunaan KKP secara nasional? Berdasarkan data per 31 Agustus 2023, sampai saat ini terdapat 3.665 Satker Pengguna KKP dengan nilai transaksi KKP konvensional dan KKP Domestik sebesar Rp638 miliar. Penggunaan KKP ini masih cukup rendah apabila dibandingkan dengan jumlah total Satker sebanyak 18.937 dengan total UP/TUP sebesar Rp5.613,54 miliar, yaitu hanya sebesar 11,37%, sedangkan untuk UP tersebut masih di-revolving setiap bulan. Bandingkan dengan total realisasi APBN per 31 Agustus 2023 untuk keseluruhan belanja barang dan belanja modal yang telah mencapai Rp311,48 triliun, yang pembayaran tagihannya menggunakan mekanisme LS dan UP.
Proporsi UP KPP yang ditetapkan sebesar 40% dari total UP Satker dengan harapan Satker dapat mengimplementasikan cashless melalui KKP, ternyata belum tercapai. Â Dari data tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata Satker melakukan revolving UP Tunai dengan frekuensi yang lebih sering, daripada revolving UP KKP. Â
Bagaimana dengan implementasi transaksi Digital Payment (Digipay)? Berdasarkan data per 31 Agustus 2023, secara nasional terdapat 8.056 Satker dan 4.368 vendor yang sudah teregistrasi Digipay. Sedangkan untuk transaksi Digipay, sampai saat ini terdapat 8.182 transaksi dengan total nilai sebesar Rp441,507 juta dimana nilai transaksi terkecil Rp2.000,00 dan nilai transaksi terbesar Rp158,2 juta.
Dibandingkan jumlah Satker secara keseluruhan yaitu 18.937 Satker dari 89 Kementerian Negara/Lembaga, baru 42,5% Satker yang teregistrasi Digipay. Jadi dapat dikatakan bahwa implementasi Digipay masih rendah dan belum berjalan efektif, padahal penggunaan Digipay dapat mempermudah Satker dalam proses pengadaan barang dan jasa untuk keperluan operasional sehari-hari, selain dapat memberikan kesempatan kepada vendor  selaku UMKM untuk berkontribusi dalam penyediaan barang dan jasa pemerintah.Â
Selanjutnya terkait penggunaan Cash Management System (CMS) berkenaan dengan implementasi virtual account, secara nasional sampai akhir triwulan II tahun 2023 dari 21.578 rekening virtual yang sudah dibuka, baru 10.188 rekening virtual yang tercatat telah menggunakan CMS, yaitu sebesar 47%. Sementara itu, 11.390 rekening virtual yaitu sebesar 53% belum menggunakan fasilitas CMS sama sekali.
Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa penggunaan CMS oleh Satker juga masih menunjukkan angka yang rendah, mengingat modernisasi rekening pengeluaran telah diluncurkan lebih dari 2 (dua) tahun lalu dan seharusnya CMS sudah digunakan dalam transaksi pengelolaan APBN. CMS yang merupakan pengembangan dari internet banking seharusnya dapat dilaksanakan.
Benarkah Satker Pengelola APBN 'Lebih Menyukai' Transaksi Tunai daripada Cashless?
Dari kondisi yang telah dijelaskan di atas, dapat diketahui adanya sebuah fenomena yang menarik terkait implementasi budaya cashless dalam pengelolaan APBN pada lingkup Satker Pengelola APBN yang tersebar di seluruh Indonesia, dimana secara keseluruhan menunjukkan tren yang sama yaitu masih rendahnya minat Satker dalam mendukung budaya cashless, dan sebaliknya mindset dalam menggunakan uang tunai masih tinggi.
Apa dampaknya bila minat Satker rendah? Hal ini menyebabkan tujuan implementasi cashless yaitu untuk meminimalisasi penggunaan uang tunai dalam transaksi keuangan negara, meningkatkan keamanan dalam bertransaksi, mengurangi potensi fraud dari transaksi secara tunai, dan mengurangi cost of fund/idle cash dari penggunaan Uang Persediaan (UP) akan sulit tercapai apabila Satker tidak memiliki semangat yang sama dalam mendukung penguatan budaya cashless yang dicanangkan pemerintah.
Lalu, apakah tidak ada upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan minat Satker untuk bertransaksi secara cashless? Tentu saja berbagai upaya telah dilakukan melalui sosialisasi dan pendampingan secara masif oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) selaku Kuasa Bendahara Umum Negara (BUN) di daerah pada Satker masing-masing dalam wilayah pembayarannya, termasuk pendampingan dari bank Himbara terkait. Selain itu juga dilakukan oleh Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan di tingkat Provinsi maupun Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan di tingkat Kementerian/Lembaga melalui berbagai forum.
Mengapa awareness Satker kurang? Kemungkinan besar belum diatur adanya sanksi yang tegas bagi Satker yang tidak menggunakan transaksi secara cashless, dapat menjadi salah satu penyebab Satker enggan mengubah metode pembayaran tunai yang biasa digunakan. Di samping itu, mungkin juga perlu adanya suatu dasar hukum yang menyatakan bahwa implementasi cashless adalah suatu ‘kewajiban’, yang ditujukan kepada para pimpinan Kementerian Negara/Lembaga agar memahami tujuan implementasi cashless dalam pengelolaan APBN, dan selanjutnya menginstruksikan kepada Satker dalam lingkup kerjanya untuk segera melaksanakannya. Â
Mengapa berbanding terbalik dengan kondisi pola transaksi di masyarakat dimana budaya cashless sudah menjadi gaya hidup sehari-hari? Seyogyanya para pejabat perbendaharaan yang ada pada Satker adalah bagian dari masyarakat luas dan menjadi salah satu pengguna transaksi cashless dalam kesehariannya, oleh karena itu Satker seharusnya dapat lebih lancar mendukung penguatan budaya cashless dalam pengelolaan APBN.
Ketika berbagai upaya telah dilakukan, dan Satker masih mencari-cari  berbagai alasan untuk tidak melakukannya, tentu muncul pertanyaan "Benarkah Satker 'lebih menyukai' transaksi tunai daripada cashless? Ada apa?".  Mungkin perlu diteliti lebih dalam lagi untuk mengetahui fenomena apa lagi yang ada dibaliknya…
Penulis :
Febe Debora Sinlaeloe, S.E., M.Ak.
Kepala Seksi Bank pada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta V
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H