KKP Domestik adalah Kartu Kredit Pemerintah dengan menggunakan skema pemrosesan domestik yang dapat digunakan untuk transaksi pembayaran di Indonesia, berdasarkan Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER-12/PB/2022 tentang Tata Cara Pembayaran atas Beban APBN dengan menggunakan Kartu Kredit Domestik, dimana KKP Domestik ini sebagai pengembangan KKP yang telah diimplementasikan sebelumnya.Â
Tujuan penerbitan KKP Domestik yaitu mengurangi ketergantungan impor, mengefisiensikan biaya pemrosesan, mengedepankan kemandirian nasional, mengamankan data dan transaksi, mengoptimalkan skema domestik, dan memperluas akseptasi khususnya Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi (UMKM).
KKP Domestik digunakan oleh Satker saat melakukan belanja barang/jasa produk dalam negeri seperti pembelian ATK, pemeliharaan peralatan dan mesin, jamuan, tiket, penginapan, sewa dan lain-lain, dimana penggunaan KKP Domestik diutamakan untuk pembelian produk dalam negeri yang disediakan oleh UMKM, dan pembayarannya menggunakan QRIS pada aplikasi mobile banking dari tiga bank Himbara yaitu Bank Mandiri, BRI dan BNI.
Dana APBN yang dapat Dikelola secara Cashless oleh Satker Pengelola APBN
Dalam pelaksanaan APBN, setiap Satker mendapatkan alokasi pagu anggaran sebagai batas pengeluaran tertinggi yang tertuang dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yaitu dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan pengguna anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
DIPA berfungsi sebagai dasar pelaksanaan kegiatan bagi Satker, dasar pencairan dana/pengesahan bagi Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara, dan juga berfungsi sebagai alat pengendali, pelaksanaan, pelaporan, pengawasan APBN, dan perangkat akuntansi pemerintah.
Selanjutnya dalam rangka tata kelola keuangan APBN yang akuntabel, setiap Satker harus menetapkan Pejabat Perbendaharaan yang terdiri dari Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar (PPSPM), serta Bendahara Pengeluaran, dimana Bendahara Pengeluaran ini yang akan mengelola Uang Persediaan pada Satker tersebut.Â
Berdasarkan peraturan terbaru terkait pelaksanaan APBN yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62 Tahun 2023 tentang Perencanaan Anggaran, Pelaksanaan Anggaran, serta Akuntansi dan Pelaporan Keuangan, tetap diatur bahwa pembayaran tagihan kepada negara dapat dilakukan dengan mekanisme Pembayaran Langsung (LS) dan Uang Persediaan (UP).Â
Mekanisme LS adalah pembayaran yang dilakukan langsung kepada Bendahara Pengeluaran/penerima hak lainnya, sedangkan UP adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satker atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme Pembayaran LS.
Besaran UP yang diberikan kepada Satker sesuai kebutuhan UP Satker dalam 1 (satu) bulan yaitu maksimal sebesar 1/12 dari pagu jenis belanja yang dapat dibayarkan melalui UP, yaitu belanja barang, belanja modal dan belanja lain-lain maksimal Rp500 juta. Namun apabila kebutuhan UP dalam 1 (satu) bulan melebihi Rp500 juta, Satker dapat mengajukan perubahan besaran UP. Selanjutnya tiap bulan Satker mengajukan revolving UP (pengisian/penggantian kembali UP) paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
Selain itu, Satker juga dapat mengajukan Tambahan Uang Persediaan (TUP) untuk membiayai kegiatan yang mendesak apabila UP yang dimiliki tidak cukup, namun harus dipertanggungjawabkan dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan.