Pandangan tersebut sempit dan tidak memperhitungkan realita yang dihadapi Gen Z. Faktanya, semua generasi memiliki risiko yang sama untuk mengalami masalah kesehatan mental.
Mengingat Gen Z hidup di era internet, mencari informasi tentang kesehatan mental sangatlah mudah. Generasi sebelumnya mungkin juga pernah merasakan apa yang dirasakan Gen Z. Namun, mereka masih awam dengan istilah-istilah yang berhubungan dengan kesehatan mental seperti kecemasan, kelelahan, dan serangan panik.
Selain itu, saat COVID-19 muncul berdampak pada kesehatan mental generasi muda. Waktu yang biasanya dihabiskan untuk bertemu banyak orang, mencoba hal-hal baru, dan bertransisi dari anak-anak ke remaja dan dari remaja ke dewasa kini dihabiskan di rumah. Hal ini karena Situasi pandemi yang agak mencekam, terbatasnya interaksi tatap muka, banyaknya berita duka, dan ketidakpastian dalam segala hal dapat menimbulkan berbagai permasalahan psikologisÂ
bagi Gen Z.
Pengaruh media sosial pada kesehatan mental Gen Z
Media sosial dan Gen Z bagaikan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Salah satu dampak media sosial terhadap remaja adalah stres karena  tidak mampu memenuhi "standar" orang lain. Hal ini juga meningkatkan risiko masalah kesehatan mental bagi Gen Z. Oleh karena itu, penting untuk menyaring informasi yang beredar di Internet.
Harus berhati-hati saat berkomentar, memposting, atau berbagi informasi di dunia maya. Jika  mengalami masalah, berpikirlah dua kali sebelum membagikan apa pun di media sosial. Daripada mengeluh dan curhat di media sosial, lebih baik cari akar permasalahannya dan coba selesaikan dari situ.
Apa Itu Resiliensi?Â
Resiliensi adalah sebagai kemampuan seseorang untuk pulih atau kembali ke keadaan normal setelah menghadapi tekanan, trauma, atau kesulitan. Ini bukan hanya tentang bagaimana kita menghadapi kesulitan, tetapi juga tentang bagaimana kita belajar, tumbuh, dan berkembang dari pengalaman tersebut. Resiliensi bukanlah sesuatu yang kita miliki sejak lahir tetapi sesuatu yang dapat kita kembangkan sepanjang hidup kita.
Sebagai contoh  bayangkan sebuah bola karet dilempar ke tanah. Tidak peduli seberapa keras Anda melempar bola, bola itu akan memantul kembali. Resiliensi mirip dengan sifat bola karet tersebut. Meskipun kita mungkin merasa tertekan atau patah hati karena suatu peristiwa, dengan resiliensi, kita memiliki kemampuan untuk "bangkit kembali" dan melanjutkan hidup dengan cara yang positif dan bermakna.
Namun, perlu diingat bahwa resiliensi bukan berarti seseorang harus selalu kuat dan tidak pernah menunjukkan emosi atau kelemahan. Sebaliknya, resiliensi berarti menyadari dan memahami perasaan dan emosi Anda dan menggunakan pengalaman ini sebagai peluang untuk belajar dan berkembang. Dengan kata lain, resiliensi bukan tentang menghindari kesulitan, tetapi tentang bagaimana kita merespons dan beradaptasi terhadap mereka.