Mohon tunggu...
Febby Dwi Kurniawati
Febby Dwi Kurniawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - IPB University

Mahasiswi Program Studi S1 Matematika

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Barang Gunaan: Perlukah Sertifikasi Halal?

7 Juni 2024   01:59 Diperbarui: 7 Juni 2024   10:35 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Umumnya, masyarakat lebih mengenal kata "halal" hanya untuk makanan dan minuman. Namun, makna dan penerapan halal sebenarnya sangatlah luas.

Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Syariat Islam bertujuan untuk mencapai kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat. Al-Qur'an dan Sunnah memberikan panduan dan penekanan pada berbagai peristiwa dalam syariat Islam, serta memastikan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk aturan tentang Halal.

Kata "Halal" berasal dari bahasa Arab dan berarti "diperbolehkan," sedangkan lawan katanya, "Haram," berarti "dilarang" atau tidak sah. Halal didoktrin dengan kata halalan toyyib (halal dan baik), yang secara efektif dan operasional dapat diinformasikan kepada semua orang mengenai tercukupnya semua sarana dan prasarana yang sudah ada.

Adanya hukum yang mengatur, yang terpusat dan tidak deskriminatif yaitu dengan adanya hukum jaminan halal. Dalam ajaran Islam, mendapatkan barang yang halal sangat dianjurkan, karena untuk memenuhi kebutuhan hidup harus mengkonsumsi barang yang halal, agar bisa menjalankan ibadah dengan baik.

Apa perlu barang gunaan disertifikasi halal?

Menurut Jumiono dan Rahmawati (2020), sertifikasi halal untuk barang gunaan merupakan bagian dari kewajiban produk yang harus disertifikasi halal, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Undang-undang ini menyatakan bahwa seluruh produk yang beredar di Indonesia wajib disertifikasi halal.  Maka, barang gunaan termasuk dalam kategori produk yang wajib disertifikasi halal.

Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag, mengungkapkan bahwa obat, kosmetik, dan barang gunaan wajib bersertifikat halal mulai 17 Oktober 2021. Ini sesuai amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.

"Cakupan produk dalam Jaminan Produk Halal sangatlah luas, meliputi makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Kebijakan penahapan ini suatu keniscayaan dalam implementasi mandatory sertifikasi halal," tegas Menag

Mengapa barang gunaan wajib bersertifikat halal?

Menurut Ir. Muti Arintawati, M.Si., Direktur Eksekutif LPPOM MUI, yang dimaksud dengan barang gunaan secara umum adalah barang yang digunakan dan terlibat dalam kehidupan manusia sehari-hari, utamanya digunakan untuk beribadah atau bersinggungan dengan produk yang dikonsumsi.

"Bisa saja barang-barang itu menempel ke tubuh dan dipakai untuk beribadah. Itu mengapa harus dipastikan bahwa barang tersebut bebas dari bahan yang najis. Contoh lainnya, alat masak yang kontak langsung dengan makanan," terang Muti.

Menurut panduan yang diberikan oleh Komisi Fatwa MUI saat ini, terdapat setidaknya dua poin terkait barang gunaan yang dapat disertifikasi halal, yaitu:

1. Pertama, barang-barang gunaan yang berkontak langsung dengan makanan yang akan dikonsumsi.

Hal ini dikarenakan makanan yang halal memiliki risiko terkontaminasi oleh produk yang tidak halal. Contohnya, dalam kasus penggunaan penggorengan anti lengket yang umumnya menggunakan bahan turunan lemak untuk sifat anti lengketnya. Terdapat dua opsi lemak, yaitu dari hewan atau tumbuhan. Dari segi pengolahan produk, LPPOM MUI akan memperhatikan apakah fasilitas produksi tersebut digunakan secara bersamaan dengan produk lain yang mengandung bahan najis atau tidak. "Apabila ada fasilitas bersama yang digunakan secara bergantian antara produk yang disertifikasi dengan produk yang mengandung babi, itu tidak diperbolehkan menurut kriteria Sistem Jaminan Halal (SJH) yang dimiliki MUI. Hal ini karena ada kemungkinan produk terkontaminasi," ungkap Muti.

2. Kedua, terkait dengan barang-barang gunaan yang terbuat dari bahan dasar kulit hewan, seperti tas, jaket, dan sepatu. 

Secara prinsip, bahan kulit dianggap halal apabila telah disamak dan berasal dari hewan halal, meskipun proses penyembelihannya tidak diketahui. Namun, jika kulit tersebut berasal dari babi, MUI tetap tidak dapat mengesahkan kehalalannya meskipun telah disamak. Saat ini, terdapat banyak sepatu kulit yang diproduksi menggunakan kulit babi, sehingga konsumen Muslim perlu berhati-hati saat akan membelinya. Ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh konsumen Muslim untuk menghindari membeli barang-barang gunaan yang tidak halal. Salah satunya adalah dengan memilih produk yang telah bersertifikat halal. Namun, sayangnya, saat ini belum banyak barang gunaan yang telah disertifikasi halal, sehingga pilihan produk barang gunaan halal masih terbatas.

Apa saja yang termasuk barang gunaan wajib bersertifikat halal?

Bagiamana cara mengetahui barang gunaan tersebut halal?

Sebagai konsumen Muslim, penting untuk bersikap kritis dalam memilih barang gunaan. Kita perlu mencari informasi apakah barang tersebut berpotensi menggunakan bahan najis. Untuk memilih kosmetik halal, kita bisa merujuk pada panduan dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI yang tersedia di website halalmui.org atau melalui aplikasi HalalMUI yang dapat diunduh di Playstore.

Sebagai seorang Muslim, mari kita berkomitmen untuk menerapkan gaya hidup halal. Mulailah dengan memilih dan menggunakan produk halal dalam kehidupan sehari-hari, demi keberkahan dan kesehatan kita bersama. .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun