Satu hari sebelumnya ....
"Eca, bapak kerja dulu ya."
Gadis berusia 15 tahun itu mengangguk semangat. "Iya, Pak! Hati-hati."
"Eca jangan lupa sarapan. Bapak udah siapin nasi sama gorengan di atas meja."
"Oke!" Eca mengacungkan jempol isyarat mengiyakan.
Fahri tersenyum dan mengusap kepala putrinya. "Assalamu'alaikum, Eca."
"Wa'alaikumussalam, Bapak!"
Setelah sosok Fahri sudah menghilang dari balik pintu, senyum di wajah Eca menghilang dan berangsur-angsur murung. Ia duduk di meja makan karena tak kuat berdiri. Saat menyingkap rok panjangnya, terlihatlah memar ungu di lutut dan betisnya.
Itu hanya luka kecil. Karena Eca sudah pernah merasakan luka yang lebih parah dari itu, yaitu ejekan menusuk tentang ibunya yang sudah meninggal.
Eca takut. Eca enggan pergi sekolah, tapi Eca tidak mau mengecewakan bapaknya jika tidak pergi belajar. Ia selalu mengingat wajah lelah bapaknya setiap pulang kerja, tapi ditutupi oleh senyum lembut.
Eca kemudian makan makanan itu dengan mata menangis berkaca-kaca. Seluruh tubuhnya masih sakit, tapi Eca harus sekuat mungkin menahan rasa sakit untuk menanggung rasa sakit lain di hari ini.