Mohon tunggu...
Fahrizal A.Z Mursalin
Fahrizal A.Z Mursalin Mohon Tunggu... -

Little boy, who desperately want to make books. Mmm, Like a writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Secangkir Cappuccino

25 November 2013   15:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:42 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“saya minta maaf.” Pandangan pria itu masih sibuk mengamat-ngamati ramainya orang di dalam.

Rani berbalik melihat kearah orang-orang di dalam, hendak mencari tahu apa yang sedang pria itu lihat. Semuanya normal, Rani mengamati sekali lagi orang-orang itu. Tapi tentu saja, tidak ada yang berbeda di dalam sana. Rani berbalik kepada pria tadi, namun pria itu sudah berjalan masuk kedalam dengan langkahnya yang sangat cepat. Aneh, pria itu seperti mencari sesuatu yang sangat berharga.

Masih sambil mengusap-ngusap tangannya yang sempat terbentur tadi, Rani membuka pintu kemudian berjalan keluar dengan sangat kesal. Semuanya lengkap hari ini, batin Rani. Terlebih lagi, Rani sangat kesal dengan pria tadi, dengan polosnya ia meninggalkan Rani begitu saja. Maaf, hanya itu? Seenaknya sekali, batin Rani sekali lagi. Ketika sudah berada di luar, Rani berbalik melihat pintu yang tertutup otomatis. Pandangannya terpaku melihat sebuah tulisan yang terpampang di sana, ia tidak percaya, merasa bersalah dan sangat-sangat bodoh telah memaki orang yang tidak salah. Seketika Rani ingin menangis meningat sebelumnya ia pernah diperlakukan seperti itu oleh orang yang dicintanya.

-

Arie gelisah. Benar seharusnya ia tidak perlu ketempat ini. Siska pasti tidak akan datang. Lagipula selama bertahun-tahun ini Arie sudah tidak pernah melihat pengorbanan atau setidaknya usaha yang dilakukan Siska untuk sekedar bertemu dengannya lagi. Meskipun itu tidak mungkin, Arie yakin jika saja Siska mencintainya, seharusnya ia sudah melakukan hal yang sama seperti Arie lakukan; berusaha.

Arie seperti merasa asing di tempat ini. Di antara ramainya pengunjung, Arie tetap merasa bahwa ia berbeda dari yang lain. Arie memutuskan untuk meninggalkan tempat yang harusnya ia tidak pernah kunjungi lagi. Setidaknya, semuanya sudah jelas. Siska tidak akan mungkin kembali lagi. Meskipun Arie sudah berusaha sebisa mungkin. Tapi jika Siska tidak berusaha, semuanya akan tidak jelas seperti ini yang membuat Arie semakin tersiksa.

Arie menelusuri lantai dua sekali lagi sebelum akhirnya benar-benar turun ke lantai satu. Seketika fikiran Arie kembali pada wanita yang ia tabrak saat memasuki tempat ini. Ia melempar pandangannya dengan cepat mencari wanita itu, kiranya ia ada di dalam sini, tapi Arie tidak menemukannya.

Arie berjalan keluar dengan fikirannya yang terus membayang-bayang. Rasa yang selama ini kepada Siska seolah lenyap perlahan akibat perlakuannya yang seolah tidak dihargai lagi. Dan ini bukan kali pertama lagi bagi Arie diperlakukan seperti ini. Benar, Arie harus belajar melupakan.

-

Rani terkejut, menjumpai pria yang sempat bertabrakan dengannya tadi berjalan keluar. Rani tahu, ia harus meminta maaf, tidak seharusnya ia mengatakan hal seperti tadi. “terimaksih, pak!”

“yo, sama-sama.” Setelah membayar baksonya, Rani bergegas mendekati pria itu. Sebenarnya, Rani tidak yakin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun