Mohon tunggu...
Fazil Abdullah
Fazil Abdullah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulislah bila itu cahayamu. (Instagram/fazil.abdullah

Cerpen Perempuan yang Meminta Rokokmu dan Mogok di Hutan mendapat penghargaan dari Kompasiana (2017 dan 2018). _____________________________________________ linktr.ee/fazilabdullah 👈 merupakan pintu masuk menuju dunia karya saya. silakan masuk dan jelajahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Panggung untuk Abu Zan

16 Agustus 2024   22:20 Diperbarui: 16 Agustus 2024   22:23 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jantung Abu Zan bergemuruh. Merasakan sekali bahwa Apa Polem sedang menyindirnya. Ia ingin berdiri dan membela diri, tetapi saat melihat ke kiri dan ke kanan, banyak mata kini yang menatapnya sekilas namun serasa ribuan jarung menusuk gelembung jiwanya. Keberaniannya menciut. Terkulai. Merasa seperti seekor binatang buruan yang tertembak tanpa bisa melawan. Bahkan dikuliti pemburu hidup-hidup.

Apa Polem melanjutkan, "Kita harus belajar dari burung beo itu. Jangan sibuk membangga-banggakan diri.  Mengulang-ulang cerita sama tentang kehebatan diri, berharap orang-orang memuji, lalu merendahkan orang lain. Kita harus tetap rendah hati saat sedang berlimpah rezeki. 

Kita hidup di kampung lebih suka berbicara tentang hal-hal sederhana, tentang kehidupan sehari-hari, tentang keluarga dan tetangga. Kita tidak tertarik dengan cerita-cerita tentang mengumbar kebesaran diri. Di sini kita sama. Kita lebih menghargai kerendahan hati dan kesederhanaan. Sikap itu yang mendapat pujian dan salut. Bila jumawa, maka akan dihakimi dan dihinakan secara berjamaah," tutur Apa Polem.

Abu Zan  ingin menghilang dari tempat itu. Ia ingin pulang dan bersembunyi di bawah selimut. Namun, kakinya terasa kaku, tidak bisa bergerak. Baru setelah acara selesai, Abu Zan bisa pamit. Ia pulang dengan langkah seolah kukuh. Ia terlatih jiwa untuk tetap berusaha tenang. Tidak menunjukkan luka batinnya yang terhina di tengah kerumunan.

"Kau lihat, Dul. Ada orang ceramah  soal rendah hati. Tapi ia sendiri hatinya dendam. Gara-gara kubilang warkopnya kumuh, Apa Polem mau jelekin Abu dan menyerang pribadi Abu secara berjamaah. Abu dibilang dan dihakimi sombong.
Hidup sama orang-orang kampung begitu. Saat kita bicara kelebihan diri, kita dibilang sombong. Tapi sisi lain, saat kita yang tak punya apa-apa seperti Abu dulu, kita diremehkan. Di-ku'eh-kan. Sakit sekali Abu bila ingat masa dulu saat bukan apa-apa dan siapa-siapa. Bagaimana pun, Abdul, tak usah kau dengar omongan orang yang menjatuhkanmu. Tetaplah pada tujuanmu," penuh tekanan Abu Zan mengeluarkan pikirannya pada Abdul.

Abdul mengernyit keras memahami antara kata dan fakta. Kata-kata Abu seakan benar, tetapi ada yang terasa salah. Abdul sulit mengidentifikasi masalah apa dan di mananya. Abdul menjadi sakit kepala. Sulit ia memahami dunia orang dewasa. Sejak saban hari jalan keluar menyopiri dengan Abu Zan, batin Abdul menjadi tidak tenang. 

"Apa Polem dan orang-orang kampung ini hanya iri dengan kesuksesanku di Malaysia. Mereka tidak senang melihat orang lebih baik dari mereka. Picik. Pantas mereka tidak bisa maju-maju. Bertahun-tahun banting tulang tetap miskin dan menjelekkan orang kaya! Halah! Kampungan!" penuh miring mulut Abu Zan bicara. 

Abu Zan merasa dirinya tidak salah. Ia hanya bercerita tentang pengalamannya, perjuangannya, dan kesuksesannya. Apa salahnya? Bukankah ia berhak bangga dengan dirinya sendiri? Bukankah ia telah berjuang keras untuk mencapai semua itu?

"Mereka tidak mengerti," lanjutnya. "Mereka tidak tahu apa yang telah Abu lalui. Mereka tidak tahu sakitnya diremehkan."

*

Keesokan harinya, Abu Zan memutuskan jalan-jalan dulu ke Banda Aceh. Healing, kata orang zaman now. Ke Banda Aceh, kota besar yang penuh dengan orang-orang berpendidikan dan berwawasan luas, menurut Abu Zan. Ia akan silaturahmi dengan teman-teman seperjuangannya dan saudara-saudaranya. Mereka pasti akan mendengar ceritanya dan kebesarannya.  Bisa menerima dan mengakui kelebihan orang lain seperti sikap di Barat. Mereka pasti akan melihatnya sebagai sosok yang menginspirasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun