Abdul lagi-lagi menangguk-angguk. Ia sesungguhnya tahu persoalan orang-orang menjauhi Abu Zan. Namun, tembok ego Abu Zan begitu besar. Bila dirubuhkan, Abdul bakal ketimpa mati. Jika kawan sebaya, Abdul bisa seloroh,"Kau aja narsis. Caper. Mana nyaman orang!" Abdul hanya bungkam dan membatin, "Orang sudah tahu Paman sukses, hebat, penuh daya. Apalagi yang Paman harapkan dari orang-orang ini? Tunduk dan takut serta tak melawan? Memang kami musuhmu? Kalau Amerika dan Israel, pamer kekuatan jelas punya tujuan agar lawannya jangan macam-macam. "
Saat acara kenduri blang (syukuran panen besar) di kampung, Abdul miris sekali melihat Pamannya. Sementara Abu Zan sakit hati yang dipendam.
Abu Zan sudah datang dengan semangat, berharap bisa berbaur dan berbagi cerita dengan orang-orang di acara kenduri blang. Ia bahkan sudah menyiapkan beberapa cerita baru yang (menurutnya) sangat menarik. Ia bahkan sangat siap jika diberi kesempatan menyampaikan sepatah dua kata.
Namun, harapannya pupus. Setiap ia bergabung, orang-orang perlahan kehilangan suara dan tawa. Diam dan angguk-angguk terpaksa mendengar cerita Abu Zan. Lalu perlahan orang-orang menjauh dengan beragam alasan. Mau nyari anak-istri, nyari kambing lepas, mau ke toilet, mau jumpa tengku - pak geuchik, mau ambil makan, dan lain sebagainya. Semua tak kembali duduk bersama Abu Zan. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil lain, mengobrol dan tertawa riang, meninggalkan Abu Zan sendirian.
Abu Zan tetap kuatkan hati. Menyapa siapa saja. Mendekati sekelompok pemuda yang sedang bercanda, dan mencoba bergabung dalam percakapan mereka. Namun, mereka layu dan satu persatu pergi dengan alasan dibuat-buat.
Abu Zan akhirnya menyerah. Ia duduk bersama Abdul, para tua pikun dan tuli. Ia merasa orang kalah dan bersama pecundang. Makan nasi kenduri dengan perasaan marah. Setiap suapan terasa pahit di lidahnya. Ia berusaha menunjukkan diri baik-baik saja. Di sela makan, berberbasa-basi dan mengalir cerita kecil meski tak didengarkan.
Di tengah kenduri, Apa Polem, pemilik warung kopi yang juga dituakan dan disegani di kampu, berdiri memberikan sambutan kenduri blang. Ia sering menjadi juru bicara geuchik (kepala desa). Ia berbicara tentang pentingnya kebersamaan dan kebersahajaan dalam kehidupan di kampung. Tak lupa ia ingatkan bersyukur setiap apa yang didapat  dan dimiliki tanpa harus menjadi jumawa.
Abu Zan kini mendengarkan dengan seksama. Sejak mulai merasa orang sekampung menghindar, indera perasa dan pendengarannya menjadi sangat tajam. Ia mencari apakah ada pesan tersirat untuknya dari Apa Polem.
Apa Polem mulai bercerita tentang seekor burung beo yang merasa hebat karena bisa meniru kata-kata. Beo tersebut merasa bangga dan mengagumi diri. Â "Namun," lanjut Apa Polem, suaranya bergema di tengah kerumunan, "Beo hanya bisa mengulang-ulang kata yang sama tentang kehebatan dirinya, sampai orang bosan mendengarnya. Beo itu yang mengharapkan pujian dan kekaguman orang-orang, berakhir hanya mendapat cemoohan."
Hati Abu Zan mendadak menciut. Kata-kata Apa Polem terasa menusuk, seperti jarum yang ditusukkan ke balon.
Ia melirik ke sekelilingnya. Semua orang tampak mendengarkan dengan penuh perhatian, beberapa bahkan mengangguk-angguk setuju dan meliriknya sekilas. Apakah mereka semua sedang menghakimi dirinya? Apakah mereka semua menganggapnya seperti burung beo yang sombong?