Abdul yang tahu cerita ulangan itu kini menjadi muncul perasaan risih. Lalu dari risih berbuah tak suka pada pamannya. Abu Zan nyaris saban hari, setiap bertemu keluarga dan orang baru mengalirkan cerita-cerita dengan motif sama. Abdul melihat Pamannya sedang mempublikasikan monumen kebesaran diri secara terang-terangan. Bagi adat Aceh, sikap begitu disebut jampok. Â
Cerita tentang kelebihan diri yang diulang-ulang akhirnya menjadi kehilangan kekaguman. Abu Zan pun menjadi cemoohan warga. "Itu Abu Zan-mu, Dul. Mulai lagi cerita kesuksesan dan kehebatannya. Tak habis-habis," gerutu teman Abdul.Â
Abu Zan belum menyadari perubahan sikap orang-orang di sekitarnya. Ia terus bercerita, tenggelam dalam dunianya sendiri. Â
Abdul tak bisa mengingatkan pamannya. Justru ia diceramahi Abu Zan panjang lebar tentang tips menjalani hidup biar sukses dan maju. "Jangan banyak dengar omongan orang yang menjatuhkanmu. Fokuslah pada tujuanmu." Abdul hanya mengangguk-angguk keras padahal batinnya menolak. Hanya karena pamannya sebagai orang tua, sebagai orang punya penuh daya, dan yang membayar semua biaya hidupnya, ia reflek patuh dan kehilangan suara. Ia sebenarnya mau menyuarakan bahwa kebesaran diri tidak dikoar-koar terbuka. Jika dikoar-koarkan, malah menguak kekerdilan diri.
*
Abu Zan duduk bersama Abdul di warung kopi. Abu Zan berharap ada yang mau menemaninya berbincang. Abdul terlalu kecil mendengar bahannya yang besar. Menurutnya, Abdul bukan orang yang cocok untuk diajak bicara.
Namun, warung kopi yang biasanya riuh kini seperti panggung yang ditinggalkan penontonnya. Orang-orang yang hendak mampir ke warung tidak jadi ketika melihat pemainnya Abu Zan. Mereka langsung berbelok atau melanjutkan perjalanan.
"Apa Polem, warungmu sudah bisa direnovasi. Dipercantiklah. Jangan kumuh. Tak nyaman orang. Malas datang orang-orang ke warungmu. Akhirnya sepi begini. Apa tak lihat warkop-warkop di Aceh jaman now yang mewah, luas, lapang, dan bersih? Bahkan ada mushala di warkop sekarang," lantang Abu Zan bicara, seakan mampu menggetarkan dinding dan merontokkan debu-debu.
Merah muka pemilik warkop yang bernama Apa Polem. Mau disahutnya, warung sepi bukan karena masalah kumuh warungnya, tapi karena tak nyaman dengan keberadaan Abu Zan di sini. Lagipula warung kampung mana pas dibandingkan dengan warkop cafe. Tentu beda kelas, beda pangsa pasar, dan beda tujuan. Jika diperdebatkan, banyak hal bisa Apa Polem adu pikiran dengan Abu Zan. Namun, Apa Polem mengalah. Ia harus tunduk pada tuan raja Abu Zan sang pelanggan royal. Ia mengiyakan saja. "Get. Teurimong geunaseh, Bang Pojan. Insyaallah kalau ada kemudahan, kita buat seperti restoran!"
Abu Zan hanya mencandainya saja. Ia hanya mengalihkan rasa sakit diabaikan orang-orang kampungnya. Ia mulai merasainya. Jika diresapi terus bisa serupa rayap yang perlahan-lahan merusak kayu, kekuatan Abu Zan. Ia tepis rasa sakit, melemparnya, dan mencari masalah pada orang atau hal lain.
Pada Abdul, ia sembunyikan rasa sakitnya. "Dol, kalau kau sudah hebat dan besar nanti, bakal ketemu orang-orang yang tak senang dengan yang kamu miliki . Begitulah hati orang yang susah menerima kelebihan orang lain."