"Saat kudaratkan mereka di kesadaran, mereka menyerah dan mati nyali untuk berpikir tentang diri apa-apa yang telah dimakan pikirannya dan tanpa sadar telah menjadi bagian laku hidupnya. Mereka yang sempit pikirannya menganggapku sebagai penyesat. Namun, aku tetap baik-baik saja dikatakan apa saja. Sedang mereka yang sempit pikiran, marah, Â gelisah, atau bahkan banyak mati dari kepercayaan lamanya. Lalu hidup sebagai diri yang baru. Aku membunuh kesadaran dan memberi atau menghidupkan kesadaran yang baru untuknya dalam memandang dan menjalani dunia."
"Hmmm... Kekuatanmu ternyata mematikan dan menghidupkan kesadaran manusia," respon Burung Kembara.
"Tapi kekuatanmu, mampu mematikan kekuatanku," puji Sang Dosen sekaligus merendahkan dirinya.
"Hmmmm. Kau ingin kekuatanku?"
"Hmmm... Sangat menggiurkan," Sang Dosen melempar kembali pancingannya ke laut.
"Kau mau?" Sang Kembara hampir dekat dengan keinginan terdalam sang Dosen.
"Buat apa?"
"Bagus. Tak perlu kau itu. Jika kau punya kekuatanku, kau hanya jadi ditakuti. Bukan lagi lagi untuk dimengerti apa yang sedang kau sampaikan. Jika kau memiliki kekuatanku, kau bisa tergiur memanfaatkan kekuatan baru dengan memanfaatkan kebodohan mereka. Kau bikin jurnal-jurnal ilmiah untuk mereka yang tidak bisa bikin. Kau dapat keuntungan, sedang mereka tetap dalam kebodohan.
"Saat terlena dengan kekuatan barumu, Kau pun tak lagi sabaran memancing mahasiswa atau mereka yang belum mengerti sehingga kau dalam diam atau secara terbuka jadi mudah memaki dan meremehkan mereka yang lelet. Kau pun tak terima dikata apa saja jika tak benar atau merendahkanmu. Kau telah berada di atas angin dan harus dimengerti posisimu yang berkelas."
Usai berkata demikian, Burung Kembara kembali terbang. " Terimakasih untuk tunanya. Semoga kehadiranku yang sesaat telah menyelamatkan kedirianmu."
Kembara terus membubung ke langit di balik awan hingga tak terlihat. Sang Dosen terpaku dengan pancingannya. Ia melihat jelas lintasan keinginannya bila mendapat kekuatan seperti Burung Kembara dan merasakan kepuasan berada di atas angin. Ia melihat dirinya tidak lagi sebagai dosen dan telah menyalahgunakan kekuatannya untuk kekayaan dan kepuasan diri bukan untuk mewariskan atau keberlanjutan ilmu pengetahuan umat manusia.