"Apa syaratnya, Pakdhe?" tanyamu.
"Bawa saja ia kemari. Dia, calonmu yang perlu tahu syarat dan meresponnya. Kamu akan tahu nanti," kata Pakdhe tegas padamu.
***
Arya, lelaki beristri, bekerja sebagai mandor di penambangan desamu. Di atas bukit terbelah itu, saat kau berdiri mengucapkan salam perpisahan pada desamu, ia pertama sekali melihat kecantikan orientalmu.
Kau gadis berkulit mulus kecoklatan yang bercahaya disiram sinar matahari sore. Tubuh remajamu telah berbentuk gadis dewasa yang mudah menggairahkan lelaki. Aryamu lama menatap wajahmu dengan anak rambut dipermainkan angin. Kau seakan sedang menyerap energi matahari sore.
Ia sempat melihat air matamu jatuh berkilau seperti mutiara. Ia berdesir hati. Mengira kau bidadari seperti dongeng-dongeng yang pernah dibacakan ibu keduanya semasa kecil. Maka seperti kisah dongeng, Arya pun muncul mimpi dibenaknya; alangkah bahagianya seandainya ia bisa memperistrimu.
"Kenapa engkau bisa di tempat berbahaya ini wahai Putri yang jelita? Mengapa pula dikau jatuhkan air matamu yang mutiara itu?"
"Sayapku lumpuh, Tuan," jawabmu.
"Apakah yang telah terjadi pada dirimu?"
"Desa ini, keluargaku, juga penambangan ini telah memukul sayapku. Aku tak boleh menjadi putri dengan dua sayap. Aku dianggap berbahaya. Aku telah merasa hilang diri di sini. Karena itulah aku menangis, Tuan.
Namun, aku melawan. Aku akan memulihkan sayapku kembali nun jauh di sana, di kota mimpi, kota sang pencari diri; Yogyakarta kota itu dinamai. Kota itu telah menungguku, dan aku akan berjalan ke sana meski payah tanpa sayap utuh."