Kau juga telah menimbang Ibu. Â Sosok yang selalu pasrah akan nasib meski luka sering singgah di dadanya. Â Pada Ibu kau lihat kelemahan yang hidup. Tidak pernah melawan. Melakoni saja. Kau tidak bisa seperti Ibu yang dikalahkan sang nasib dan keadaan. Kau berbeda. Kau akan ciptakan masa depan sendiri meskipun berduri jalan harus kau tempuh.
"Aku telah memikirkan itu Pakdhe. Berat memang pilihanku karena akan menyakiti orang lain. Ibu terutama. Pakdhe harus tahu bahwa selama ini orang-orang terdekatku juga menyakiti, memojokkan, dan tak menerima aku. Di keluarga, juga di desa sejak aku protes penambangan itu. Bukan maksud aku mau membalas menyakiti Ibu, Pakdhe. Bukan.
Aku mau bilang, aku mau lepas dari keadaan yang menyesakkan ini. Aku putuskan memilih jalan hidupku ini demi kebaikan masa depanku. Di desa, di keluarga, yang aku dapati sesak dan luka. Â Serasa perang terus kurasa di hati. Tapi dengan calon suamiku, Mas Arya, aku percaya ia memberi aku jalan meninggalkan semua perang ini. Aku bisa damai. Ia dukung dan membantuku kuliah sesuai keinginanku," ungkapmu pelan dan lembut sambil menunduk.
Kau gadis yang biasa jelas melihat inginmu dan dan sangat tahu bagaimana mewujudkannya. Meskipun berat, meskipun di luar kewajaran masyarakat, kau usahakan mencapainya.
Kau telah membuktikan beberapa kali. Saat kau jadi ketua OSIS, saat jadi pradana Pramuka, dan saat kau berhasil diterima UGM lewat jalur PMDK. Kini pun kau harus mendapat walimu dari Pakdhe.
Kau yakin Pakdhe akan mau jadi walimu tanpa Pakdhe merasa tersakiti. Kau tak ingin Pakdhe tersakiti. Kau menghormati Pakdhe dan telah menganggap Pakdhe seperti ayahmu.
Dulu, keluargamu pernah menginap lama di rumah Pakdhe saat pernikahan Surti, anak Pakdhe, sepupumu. Saat itu kau mengenali Pakdhe. Ia mengerti manusia dan bisa menengahi keinginan manusia dengan bijak.
Kau pernah ungkap cita-citamu mau kuliah, jadi wanita karir atau mau jadi atlit seperti Susi Susanti di tengah keramaian persiapan pesta. Semua menertawakan keinginanmu. Tidak Pakdhe. Sekarang zaman sudah berubah. Zaman sekarang telah memberi ruang untuk perempuan mewujudkan apa yang diimpikan. Tidak bisa menyamakan dengan zaman dulu. Kau, Ely, jika sungguh-sungguh akan cita-citamu, berusahalah. Jalan dan semesta akan mendukungmu.
Kau yang sempat ciut hati, kembali berbesar hati. Peristiwa itu sangat membekas di hatimu. Karena itu kau selalu percaya diri di tengah keramaian. Apalagi Ayahmu pun menguatkanmu batinmu, tetaplah di jalan dan tujuan yang kau anggap benar. Jangan hiraukan omongan orang yang mematahkanmu.
Pakdhe bijak. Tidak cepat menyalahkan orang meskipun ia juga tidak membenarkan pilihanmu. Sikap demikian bagimu sudah cukup untuk mengawali pertukaran pikiran dan pendirian. Maka kini saat kau membawa keputusan yang asing bagi keluarga dan masyarakat, kau merasa tidak tertekan.
Pakdhe telah memikirkan. Ia bicara lagi. "Kamu bawa calon suamimu kemari. Pakde akan bertanya-tanya dan menilainya. Kalau dia bisa penuhi syarat yang kuminta, kalau ia mau mengikat janji secara tertulis seperti yang kuminta, Pakdhe bersedia jadi walimu dan menikahkanmu di sini," begitu keputusan Pakdhe