Mohon tunggu...
Fazil Abdullah
Fazil Abdullah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulislah bila itu cahayamu. (Instagram/fazil.abdullah

Cerpen Perempuan yang Meminta Rokokmu dan Mogok di Hutan mendapat penghargaan dari Kompasiana (2017 dan 2018). _____________________________________________ linktr.ee/fazilabdullah 👈 merupakan pintu masuk menuju dunia karya saya. silakan masuk dan jelajahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Ely, Ely, Temui Aku....

22 Januari 2023   06:11 Diperbarui: 1 Februari 2023   22:48 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi siluet Perempuan. (sumber: pixabay.com/jasminezhang916)

Kala itu kau masih SMA. Sudah didatangi sesak dan jiwa berontak akan nasib, orang-orang, dan bahkan keluargamu sendiri.  Semua di matamu seakan lawan yang membuat hatimu tak bisa damai.

Kau ingat sekali suatu hari saat pulang sekolah, jalan kaki, di bawah matahari yang masih miring di atas kepala, dan kau baru sampai di jalan depan rumahmu, dump truck lagi-lagi lewat menerbangkan debu-debu. 

Debu itu lengket ke wajahmu yang berpeluh juga ke seragam SMA-mu. Kau maki dan lempar dump truck itu dengan kerikil penuh emosi.

Ibu menegurmu. Tak elok anak gadis begitu.

"Ya, mereka yang baik. Mengambil dan mengangkut tanah, pasir, kerikil, batu gamping, marmer dan entah apa lagi. Kita hanya kebagian debu. Baik sekali mereka. Pantesan mereka enggak pernah Ibu protes atau tegur. Akulah yang buruk itu!" sindirmu.

Ibu tidak mendengar apa yang kau ungkapkan. Ibu hanya melihat tingkah dan gaya tuturmu yang tak sopan. Lagi-lagi kau ditegur. "Bakal jauh laki sama kamu. Laki enggak mau sama bini keras kepala dan enggak bisa diatur!"

Kau begitu marah. Bukan karena persoalan ancaman jauh jodoh. Kau tak peduli itu. Lebih baik jauh jodoh daripada seperti kakak kandungmu, Suhesti yang langsung dinikahkan usai tamat SMP lalu berubah menjadi ibu-ibu kusut padahal masih remaja. 

Sementara kau masih ingin mengalami berbagai mimpi yang dijanjikan kehidupan. Kau mau jadi wanita karir, kaya, dihargai, dan jalan-jalan ke mana ingin.

Kau marah karena tak ada yang mendukungmu, mendamaikanmu, malah menyudutkanmu. Di rumah, yang mana penghuni di dalamnya disebut keluarga; yang mana orang-orang bilang keluarga adalah tempat perlindungan dan kenyamanan jiwa-jiwa anak manusia dari getirnya dunia; hanya kau dapati adalah gurun. Kau panas dan dahaga akan kasih dan damai.

Kakak kandung tertua, Supriyatin juga sering menganggumu, menyindir, dan mencemooh akan mimpi, pikiran, dan sikapmu. Sementara Ayahmu tidak begitu. Tapi Ayahmu telah meninggal ketika kau masih kelas satu SMP.

Kau paham sekali mengartikan kesendirian selepas Ayah meninggal. Tidak ada lagi yang mendengar ceritamu, mimpi-mimpimu; yang memuji kecerdasan dan keberanianmu; yang sering mengajakmu jalan-jalan ke kebun, ladang, dan bukit-bukit bergua (yang kemudian semua itu berubah sejak muncul penambangan galian C). 

Ayahmu semasa hidup juga membuka jalan untuk masa depanmu bahwa kau didukung dan diizinkan kuliah meski warga desa menertawakan: anak gadis kok kuliah padahal kerjaan nanti cuma dapur, sumur, dan kasur. Buang-buang duit.

Saat kau ingat Ayah, kata-katamu lembut dan kekanakan. Masa-masa kau bahagia. Semua anggota keluarga masih bahagia. Kau sering bercanda dan bermain dengan kedua kakakmu. 

Kau juga akur dan menyayangi Ibu. Sering membantu Ibu di dapur dan menjadikannya tempat bertanya akan segala rempah dan tempatmu belajar meracik bumbu dapur dan memasak.

Lalu kebahagiaan itu tercerabut. Kau ingat sekali awal mula kebahagiaan itu pergi sejak hadirnya penambangan galian C. Ayahmu mati tragis ketimpa batu marmer. 

Mbak Suhesti dinikahkan buru-buru biar tak beban Ibu menafkahi. Mas Supriyatin putus sekolah dan bekerja di penambangan (sebagai kompensasi perusahaan atas kematian Ayah, yang ujung-ujungnya Mas Supriyatin hanya jadi supir dump truck). 

Lalu Ibumu tak lagi sesegar dulu. Kusut dan menua sebelum tua. Ibu kau lihat dan rasakan serupa suasana rumah yang dipenuhi debu-debu.

Debu menempel di dedaunan, bunga, bangku, dan tanpa permisi bergerombol masuk rumah, bahkan ke bantal dan kasur, dan hatimu. Jalanan depan rumahmu itu telah jadi tanah kering dan dialasi kerikil; tekun menyumbang debu-debu.

Berulang kali debu diusir tapi selalu saja bertamu. Kau setiap hari, jika tak hujan, kebagian tugas menyiram jalanan dan membersihkan debu-debu, juga sesak dadamu.

Kau lelah. Protes. Tetapi dibantah. Penambangan memberi pendapatan yang digunakan untuk bangun desa. Perangkat desa menekankan lagi, bahwa program dan kebijakan desa yang dibuat untuk kemajuan dan kesejahteraan desa. 

Bukan kepentingan perorangan. Jika ada efek samping dirasakan perorang, mohon mengalah dan sabar. Mari lihat kepentingan kita bersama. "Kita adalah  keluarga. Karena itu harus saling mendukung dan bekerja sama demi tercapainya kemajuan dan kesejahteraan desa."

Apanya yang dibangun? Jika kehadiran penambangan itu justru kini menyebabkan polusi udara dan suara. Jalanan rusak, air bersih mulai susah. Rusak alam desa yang dulu damai dan asri. Apa sebenarnya yang dicari oleh sebuah desa, oleh sebuah keluarga? Bukankah desa kita dulu dalam kedamaian dan ketenangan hidup. 

Jadi apalagi yang kita cari? Sudah didapatkan itu semua sebelum penambangan itu ada. Jangan taburkan konsep abstrak "kesejahteraan" di kepala warga, jika kalian sendiri tidak mengerti apalagi mewujudkan apa yang kalian katakan. "Kalian memanipulasi demi kepentingan dan keserakahan segelintir penguasa!" lantangmu.

Kau sendiri dan suaramu mudah dibungkam oleh kebodohan dan ketakutan yang berkerumun. Kau dianggap bocah tak tahu apa-apa. Cuma berpikir untuk diri sendiri. 

Bahkan pikiranmu dituduh seperti PKI atau pemberontak. Kalau bukan status gadis dan bocah, kau gampang sekali dilaporkan dan ditangkap aparat karena menghalangi pembangunan. Kau disuruh tutup mulut. Perempuan kok lancang sekali. Merasa sok pinter.

Ibumu malu, sering menyalahkanmu, dan apa kau tak bisa diam dan menerima saja? Begitu juga kakak-kakakmu memarahi akan sikapmu. Kau pun makin tersendirikan, terpojokkan di dalam keluarga, juga di desa.

Kau bahagia di sekolah. Terus belajar, menjadi ketua OSIS, menjadi pradana pramuka. Pertama dalam sejarah sekolah perempuan jadi ketua OSIS sekaligus pradana pramuka. 

Namun, organisasi kegiatan ekstrakurikuler sekolah itu tak berfungsi. Hanya status saja dirimu sebagai ketua. Karena tak ada dana pembinaan, tak ada fasilitas pendukung, dan siswa-siswa pun tidak tertarik.

Kau pun lagi-lagi ujungnya sendiri dengan mimpi, pikiranmu, dan jabatan ketua tanpa kegiatan itu. Kau kalah karena sendiri, perempuan, dan jelata. Tak bisa merangkul apalagi menggerakkan teman-teman. Mereka tak tahu apa yang harusnya dimimpiwujudkan. 

Kau melihat bahwa kemiskinan, kebodohan, dan kemalasan telah membuat mereka takut akan mimpi-mimpi lalu menertawakan siapa saja yang punya mimpi.

Kau akhirnya fokus ke pendidikan saja. Belajar giat, mengejar nilai rapor bagus agar kelak kampus menerimamu melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). 

Sebenarnya kau ingin juga berprestasi melalui olahraga: badminton seperti Susi Susanti atau Mia Audina. Namun, sekolah tidak punya fasilitas olahraga mahal itu. Desa pun membangun di lahan terbuka. Mainnya malam, ketika angin telah rebah, dan itu hanya buat laki-laki, sementara perempuan main di rumah atau main rebahan di kasur.

Kau tiba-tiba merasa salah lahir sebagai perempuan atau salah tempat. Sungguh kau ingin segera lari dan pergi dari keluarga, dari desa. Kau telah melihat dirimu bersinar jaya dan dihargai di masa depan. Dirimu di rantau, di masa depan serasa begitu dekat, begitu jelas, dan lirih memanggilmu. "Ely, Ely, Ely, temui aku.... "

***

Akhirnya, tiba pada waktunya, kau menemukan jalanmu. UGM menerimamu melalui jalur PMDK. Kau berteriak meruahkan sesak dan menghirup aroma gerbang kebebasan. 

Sekolah dan desa pun gemuruh karena sejarah pertama di pelosok itu seorang siswa, seorang warganya diterima di kampus terbaik di Indonesia. Namun, tidak semua berbahagia apa yang kau raih.

Dari momen itulah, Ely semakin jelas berbisik di kepalamu: Hiduplah kamu di atas jalanmu tanpa hiraukan komentar orang-orang. Mereka yang membenci akan mudah menghina dan menyakitimu. Mereka yang iri akan mudah menyindirmu. Mereka yang tak punya mimpi akan mudah menakutimu.

Komentar-komentar itu beraneka suara. Itu gadis kalau makin tinggi sekolahnya, bakal makin setan pikirannya. Ngapain kuliah, nanti juga kerja di dapur.  Ibu tidak sanggup membiayaimu.

Kau tetap dalam pendirian. Kau akan mencari jalan untuk biaya pendidikan. Lewat beasiswa atau bekerja. Juga akan membuat kue-kue yang dititip di warung-warung sebagaimana Ibu kerjakan selama ini.

Suatu sore, saat matahari begitu lembut di kulitmu, di atas bukit yang terbelah bekas dikeruk penambangan, kau mengucapkan salam perpisahan. Kau akan pergi dari kampung tandus itu. Di sana kau dilahirkan, tetapi tidak untuk tumbuh kembang dan menemukan dirimu. 

Semua yang kau lihat dari atas bukit itu, tidak menunjukkan hidup yang cerah, melainkan menuju kehancuran. Kau mengucapkan selamat tinggal pada yang selama ini benci kau lihat: bulldozer, dump truck dan excavator yang merasa pahlawan perkasa pembangun desa. (Kelak di usia tuamu, kau lihat di berita, longsor dan banjir sesekali bertamu ke desamu). 

Selamat tinggal kau ucapkan pada tanah berpasir, pada batu-batu yang telah kalah dan bercerai-berai, pada rerumputan dan semak belukar yang menguning, pada pepohonan yang kalah oleh garangnya matahari hingga dedaunannya lesu yang begitu mudah berjatuhan saat dikepak sayap angin.

"Jangan main di sini. Bahaya!" suara peringatan dari lelaki tegap paruh baya. Belakangan kau mengenalnya sebagai mandor penambangan yang berasal dari Yogyakarta. 

Selang waktu tak lama, sebelum berangkat ke Yogyakarta, kau terima ia sebagai suami meski kau istri kedua, meski ditentang keluarga, meski kau dinikahi siri, meski kau dianggap gila.

Kau terima lelaki itu karena percaya memberimu sayap terbang ke Yogyakarta (meski kelak patah jua sayap itu). Kau siap menerima tantangan liku, berkerikil, bahkan terjalnya jalan yang akan membayangimu. Kau memandang lelaki itu alat, bukan sebagai tujuan. Tujuanmu pada diri yang terus memanggilmu, "Ely, Ely, temui aku...." *** (Aceh, 22 Januari 2023).

---

Tambahan:

Kisah ini merupakan kepingan dari kisah-kisah lain yang saling terkait. Acak dan kepingannya bisa dibaca dari manasuka. Bila tertarik, kepingan lain bisa dibaca di tautan berikut ini:

Para Tamu Rumah Kami

Pengertian yang Tak Mudah

Keluarga Cahaya

Para Tamu Rumah Kami

Ibu Menunggumu di Pantai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun