Kau tiba-tiba merasa salah lahir sebagai perempuan atau salah tempat. Sungguh kau ingin segera lari dan pergi dari keluarga, dari desa. Kau telah melihat dirimu bersinar jaya dan dihargai di masa depan. Dirimu di rantau, di masa depan serasa begitu dekat, begitu jelas, dan lirih memanggilmu. "Ely, Ely, Ely, temui aku.... "
***
Akhirnya, tiba pada waktunya, kau menemukan jalanmu. UGM menerimamu melalui jalur PMDK. Kau berteriak meruahkan sesak dan menghirup aroma gerbang kebebasan.Â
Sekolah dan desa pun gemuruh karena sejarah pertama di pelosok itu seorang siswa, seorang warganya diterima di kampus terbaik di Indonesia. Namun, tidak semua berbahagia apa yang kau raih.
Dari momen itulah, Ely semakin jelas berbisik di kepalamu: Hiduplah kamu di atas jalanmu tanpa hiraukan komentar orang-orang. Mereka yang membenci akan mudah menghina dan menyakitimu. Mereka yang iri akan mudah menyindirmu. Mereka yang tak punya mimpi akan mudah menakutimu.
Komentar-komentar itu beraneka suara. Itu gadis kalau makin tinggi sekolahnya, bakal makin setan pikirannya. Ngapain kuliah, nanti juga kerja di dapur. Ibu tidak sanggup membiayaimu.
Kau tetap dalam pendirian. Kau akan mencari jalan untuk biaya pendidikan. Lewat beasiswa atau bekerja. Juga akan membuat kue-kue yang dititip di warung-warung sebagaimana Ibu kerjakan selama ini.
Suatu sore, saat matahari begitu lembut di kulitmu, di atas bukit yang terbelah bekas dikeruk penambangan, kau mengucapkan salam perpisahan. Kau akan pergi dari kampung tandus itu. Di sana kau dilahirkan, tetapi tidak untuk tumbuh kembang dan menemukan dirimu.Â
Semua yang kau lihat dari atas bukit itu, tidak menunjukkan hidup yang cerah, melainkan menuju kehancuran. Kau mengucapkan selamat tinggal pada yang selama ini benci kau lihat: bulldozer, dump truck dan excavator yang merasa pahlawan perkasa pembangun desa. (Kelak di usia tuamu, kau lihat di berita, longsor dan banjir sesekali bertamu ke desamu).Â
Selamat tinggal kau ucapkan pada tanah berpasir, pada batu-batu yang telah kalah dan bercerai-berai, pada rerumputan dan semak belukar yang menguning, pada pepohonan yang kalah oleh garangnya matahari hingga dedaunannya lesu yang begitu mudah berjatuhan saat dikepak sayap angin.
"Jangan main di sini. Bahaya!" suara peringatan dari lelaki tegap paruh baya. Belakangan kau mengenalnya sebagai mandor penambangan yang berasal dari Yogyakarta.Â