Sekali waktu, Ayah malam-malam kepergok. Kembali lagi dua kucing jantan itu mengeong keras. "Kamu silakan ambil bekasku! Tapi jangan ambil juga anakku. Jangan bawa dia ke agamamu!" teriak Ayah. Membangunkan para tetangga.
Polisi datang. Mama telah mulai berkarib dengan polisi sejak Ayah datang diam-diam ke rumah. Salah satunya polisi ganteng. Mama akan menelponnya ke rumah kalau ada sesuatu atau tak ada sesuatu. Aku pun mulai merasa tak ada apa-apa di kenyataan. Jika pun ada, kenyataan menyakiti. Lebih baik, tak ada.
Aku banyak di kamar. Menjauh dari mereka. Dari orang dewasa. Benar-benar jauh aku pergi. Jauh ke dunia lain. Sakit sekali menghadapi kenyataan. Menghadapi orang dewasa yang rumit. Teraduk-aduk perasaanku. Pernah sampai kejang. Pingsan. Ketika sadar, aku merasa kuat. Tak lagi merasakan sakit, juga senang. Datar saja.
Mama hanya bertahan lima bulan dengan suami baru. Mama bilang pisah. Demi aku. Katanya, aku tak senang dengan suami baru Mama. Banyak diam. Aku telah lain. Pikiran kosong. Tak merespon apa-apa. Aku bukan aku lagi.
Aku pikir aku baik-baik saja. Aku menghindari kenyataan, maka aku merasa baik. Mama menghindari Ayah, maka Mama merasa baik. Aku mencari dunia baru yang jauh, maka aku merasa lebih baikan. Mama mencari lelaki baru yang sempurna, maka Mama merasa lebih baikan.
"Tidak panggil polisi, Ma?" tanyaku memecah sunyi.
Ia menggeleng cepat. Aku bangkit. Melangkah memasuki kamar kembali. Duniaku sendiri. Kubiarkan Mama menghadapi kenyataan baru yang telah diciptakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H