"Kamu sembunyi di belakang pintu. Kamu jangan terlihat. Mama buka pintu dan keluar melihat-lihat. Pas kamu ada kesempatan, timpuk dia di tengkuknya pake teflon itu. Kamu siap?" kata Mama cepat. Masih cemas dan waspada.
Tak ada cemas menjalar padaku.
Perasaanku telah datar. Kesadaranku tidak pernah penuh lagi atas kenyataan. Akhirnya, aku tidak pernah selalu responsif. Aku divonis psikiater mengalami depersonalisasi-derealisasi (DD); mati rasa. Penjelasan singkatnya begitu.
Setengah sadarku menduga itu Ayah. Mantan suami Mama. Mantan ayahku.
Mama membuka pintu. Pelan. "Siapa di luar? Jangan macam-... " belum selesai Mama memperingatkan, suaranya terpotong. Dibekap. Terdengar pisau jatuh ke lantai. Didorong menggeser menjauh.
"Jangan ribut. Jangan teriak. Ini aku!" suara lelaki, seperti mendesis. Mama didesak masuk ke dalam rumah. Meronta tangan Mama yang dikunci ke belakang tubuhnya.
Lelaki itu berjaket kulit hitam, memakai celana jins. Ada bau tak sedap mengudara. Â Bau alkoholkah? Aku tak tahu. Aku belum mengenal itu.
Lelaki itu menutup daun pintu dengan kakinya. Jika ia melihatku, terpaksa kuhantam hidung mukanya. Namun, ia tidak melihatku di belakang pintu. Aku pun dengan leluasa mengayungkan penggoreng ke tengkuknya dengan tepat. Tenngggg! Bunyinya bergetar di tanganku.
Ia ambruk ke lantai. Sisi kiri tubuhnya duluan. Untung bukan mukanya jatuh duluan.
Mama terlepas dari cengkraman lelaki itu. Mama masih mematung. Masih syok. Menatapku nanar.
"Matikah ia?"