Mohon tunggu...
Fazil Abdullah
Fazil Abdullah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Cerpen Perempuan yang Meminta Rokokmu dan Mogok di Hutan mendapat penghargaan dari Kompasiana (2017 dan 2018). _____________________________________________ linktr.ee/fazilabdullah 👈 merupakan pintu masuk menuju dunia karya saya. silakan masuk dan jelajahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Siapakah Ia yang Memasuki Rumah Kami?

7 Januari 2023   13:45 Diperbarui: 24 Januari 2023   02:47 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara terengah-engah. Panjang. Pendek kemudian. Diikuti suara telapak kaki berlari. Suara anjing menggonggong di kejauhan. Suara ayam berkokok. Masih dini hari padahal.

Aku mendengar besi gerbang pagar beradu. Suara tubuh jatuh ke rumput dan semak. Maling? Tak seharusnya terang-terangan menimbulkan suara. Maling bekerja dalam senyap.

Siapakah ia yang memasuki halaman rumah kami?

Aku mengintip jendela. Tak tampak sesiapa di gerbang pagar. Lampu tak menerangi seluruh halaman. Atau ia sembunyi di sudut gelap, di bawah pohon mangga rimbun, atau bisa saja sudah di teras depan pintu. Tak luas halaman rumah kami. Kota memakan lahan-lahan. Menyempitkan hati. Lalu kita meluaskannya dengan dunia lain. Dunia maya.

Aku keluar kamar. Memasuki kamar Mama."Ma!" sekali saja kubangunkan, dan Mama langsung terjaga.

"Ada apa?" Mama mengucek mata sebentar, sambil memicing ke arahku.

Seseorang di luar, kataku. Mata Mama membuka penuh. Kaget dan cemas bercampur.

"Malingkah?" Ia bergegas bangkit. Mengikat piyamanya, mengikat rambut yang terurai.

"Sepertinya bukan," sahutku yang mengikutinya.

Mama ke dapur. Mengambil pisau besar di pantri. Melihat-lihat sesuatu yang lain. Penggorengan bergagang, teflon, lalu diserahkan padaku.

"Kamu sembunyi di belakang pintu. Kamu jangan terlihat. Mama buka pintu dan keluar melihat-lihat. Pas kamu ada kesempatan, timpuk dia di tengkuknya pake teflon itu. Kamu siap?" kata Mama cepat. Masih cemas dan waspada.

Tak ada cemas menjalar padaku.

Perasaanku telah datar. Kesadaranku tidak pernah penuh lagi atas kenyataan. Akhirnya, aku tidak pernah selalu responsif. Aku divonis psikiater mengalami depersonalisasi-derealisasi (DD); mati rasa. Penjelasan singkatnya begitu.

Setengah sadarku menduga itu Ayah. Mantan suami Mama. Mantan ayahku.

Mama membuka pintu. Pelan. "Siapa di luar? Jangan macam-... " belum selesai Mama memperingatkan, suaranya terpotong. Dibekap. Terdengar pisau jatuh ke lantai. Didorong menggeser menjauh.

"Jangan ribut. Jangan teriak. Ini aku!" suara lelaki, seperti mendesis. Mama didesak masuk ke dalam rumah. Meronta tangan Mama yang dikunci ke belakang tubuhnya.

Lelaki itu berjaket kulit hitam, memakai celana jins. Ada bau tak sedap mengudara.  Bau alkoholkah? Aku tak tahu. Aku belum mengenal itu.

Lelaki itu menutup daun pintu dengan kakinya. Jika ia melihatku, terpaksa kuhantam hidung mukanya. Namun, ia tidak melihatku di belakang pintu. Aku pun dengan leluasa mengayungkan penggoreng ke tengkuknya dengan tepat. Tenngggg! Bunyinya bergetar di tanganku.

Ia ambruk ke lantai. Sisi kiri tubuhnya duluan. Untung bukan mukanya jatuh duluan.

Mama terlepas dari cengkraman lelaki itu. Mama masih mematung. Masih syok. Menatapku nanar.

"Matikah ia?"

"Sepertinya pingsan." sahutku. Aku ke belakang, ke laci pantri.

"Ke mana kamu?"

"Mengambil tali kabel."

Kembali ke ruang depan, kuikat kedua tangan lelaki itu ke belakang tubuhnya. Kedua kakinya juga.

Selesai mengikat, aku duduk di sofa. Siapakah dia Mama? Pacar baru Mamakah? Lelaki itu sempat memberitahu dirinya, "Ini aku!" Hanya Mama dan Tuhan yang tahu siapa identitas lelaki itu. Malas saja kutanyakan. Pada Mama, pada Tuhan. Siapapun dia, aku tak pernah tertarik mengenalnya.

Mama masih berdiri.

Setahun lalu Ayah telah diceraikan. Selingkuh katanya. Aku pun tahu Mama juga selingkuh. Entah siapa yang memulai.

Ayah bekerja di luar kota. Mama bekerja di perusahaan di sini dengan jabatan tinggi. Sabtu Minggu Ayah pulang. Tak ada masalah kukira dengan hidup kami. 

Sabtu Minggu adalah hari bahagiaku, berjumpa Ayah. Setiap minggu merindukan Ayah. Lalu Sabtu Minggu kami jalan-jalan. Selalu begitu.

Lalu keadaan berubah. Mereka berdiaman. Jalan-jalan tak lagi. Ayah tak lagi pulang Sabtu Minggu. Aku hanya disapa lewat android. "Datang saja ke mari. Ayah ongkosi!" Tapi Mama melarang.

Enam bulan kemudian, Mama menikah lagi. Nikah di bawah tangan, katanya. Pindah agama juga, ikut suami baru. Lelaki itu tinggal di rumah kami. Ayah pun diam-diam datang ke rumah kami. Lelaki itu dan Ayah menjadi kucing jantan. Memperebutkan betina dan wilayah kekuasaan.

Sekali waktu, Ayah malam-malam kepergok. Kembali lagi dua kucing jantan itu mengeong keras. "Kamu silakan ambil bekasku! Tapi jangan ambil juga anakku. Jangan bawa dia ke agamamu!" teriak Ayah. Membangunkan para tetangga.

Polisi datang. Mama telah mulai berkarib dengan polisi sejak Ayah datang diam-diam ke rumah. Salah satunya polisi ganteng. Mama akan menelponnya ke rumah kalau ada sesuatu atau tak ada sesuatu. Aku pun mulai merasa tak ada apa-apa di kenyataan. Jika pun ada, kenyataan menyakiti. Lebih baik, tak ada.

Aku banyak di kamar. Menjauh dari mereka. Dari orang dewasa. Benar-benar jauh aku pergi. Jauh ke dunia lain. Sakit sekali menghadapi kenyataan. Menghadapi orang dewasa yang rumit. Teraduk-aduk perasaanku. Pernah sampai kejang. Pingsan. Ketika sadar, aku merasa kuat. Tak lagi merasakan sakit, juga senang. Datar saja.

Mama hanya bertahan lima bulan dengan suami baru. Mama bilang pisah. Demi aku. Katanya, aku tak senang dengan suami baru Mama. Banyak diam. Aku telah lain. Pikiran kosong. Tak merespon apa-apa. Aku bukan aku lagi.

Aku pikir aku baik-baik saja. Aku menghindari kenyataan, maka aku merasa baik. Mama menghindari Ayah, maka Mama merasa baik. Aku mencari dunia baru yang jauh, maka aku merasa lebih baikan. Mama mencari lelaki baru yang sempurna, maka Mama merasa lebih baikan.

"Tidak panggil polisi, Ma?" tanyaku memecah sunyi.

Ia menggeleng cepat. Aku bangkit. Melangkah memasuki kamar kembali. Duniaku sendiri. Kubiarkan Mama menghadapi kenyataan baru yang telah diciptakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun