Ia adalah seseorang yang hidup pada masa yang sangat jauh. Masa manusia bisa terbang, mengeluarkan api dari tangan, menggeser gunung, menggerakkan air dan angin. Hidup tanpa perlu rumah. Alam adalah sejatinya rumah mereka.Â
Ia punya kemampuan supercepat melebihi kecepatan cahaya. Mampu melipat waktu kini dan masa depan. Karena kemampuan dan kekuatan ini, dilipatlah waktu. Ia datang, menjenguk pada masa kini.
Setelah melihat yang terjadi pada zaman kini, ia bersedih. Manusia kini dilihatnya tak lagi mengenal akan dirinya, akan kemampuan dan kekuatan dalam dirinya. Manusia kini mencari kekuatan dan kemampuan pada benda-benda yang diciptakan.
Ia tak tahan untuk tak memekik dalam diri, "Kekuatan dan kemampuanmu ada dalam dirimu. Pakai itu. Tak perlu pakai benda-benda yang menjauhkanmu dari kemampuan dan kekuatanmu sendiri." Akan tetapi, kata-katanya hanya bisa didengar tanpa bisa manusia kini pahami dan hayati lagi.
***
Pada masanya, ia tak perlu kertas untuk menulis, cukup lisan. Semua tersimpan dan tertata di dalam jiwa. Melebihi dari komputer dan internet yang kata manusia kini adalah penemuan paling canggih dan fenomenal.
Ia tak perlu internet atau telepon untuk berkomunikasi dengan manusia lain. Cukup pencet yang ada dalam diri, mengeluarkan sinyal, lalu diperantarai alam, terhubunglah pada siapa yang hendak diajak komunikasi. Tak perlu tenteng-tenteng gadget itu.
Masa itu tak perlu sepeda, motor, mobil, atau pesawat. Cukup ringankan tubuh atau menyatu bersama angin atau cahaya, lalu melesat ke mana pun hendak pergi.
Masa itu tak perlu narkoba dan pornografi untuk mencari kenikmatan sesaat. Mencapai kenikmatan hal demikian adalah sepele, remeh-temeh. Jika mau begitu, cukup bayangkan, lalu masuki bayang itu, lalu bersetubuh dan bernarkobalah sesukamu.
Tapi masanya, hal begitu adalah selera dan kenikmatan terendah dari tangga-tangga kenikmatan tertinggi. Tak terlalu berasa perbuatan begitu. Hanya seperti sebatas minum tanpa diawali haus. Ya begitulah rasanya. Persetubuhan hanya semata untuk berkembang biak. Itu saja. Tanpa tendensi sebagai jalan mencari kenikmatan.
Beragam tangga-tangga kenikmatan pada masanya. Puncak kenikmatan tertinggi adalah terhubung dan mampu tersentuh dekat dengan Sang Pencipta Kenikmatan itu.
Masanya, manusia-manusia berlomba-lomba mengejar, menghubungi, dan mencoba bersentuhan dekat dengan Sang Pencipta Kenikmatan. Karena itulah, manusia pada masanya banyak menghilang dari bumi. Ketika hendak bersentuhan dekat dengan Sang Pencipta Kenikmatan, manusia harus memasuki terlebih dahulu Ruang-Ruang Kenikmatan. Ketika berhasil masuk, manusia itu tak mau lagi keluar dari sana.
Ia pun ada keinginan juga begitu, tapi belum mampu mencapainya apalagi memasuki Ruang Kenikmatan itu. Ia telah mendengar kabar, sebagian manusia masanya berhasil dengan tetap utuh akan kediriannya memasuki Ruang-Ruang Kenikmatan. Namun sebagian manusia lainnya banyak juga tak berhasil malah menjadi aus, lebur, hilang diri sebelum memasuki Ruang Kenikmatan.
Karena itulah, manusia pada masanya banyak yang hilang, raib tak kembali. Populasi mereka pun berkurang perlahan-lahan. Sementara mengembang-biakkan diri acuh tak acuh malah ada yang sampai jijik karena serupa binatang, alasannya.
***
Ia kini melihat, penyebab manusia jenis dirinya hilang, raib bukan karena aus atau telah memasuki Ruang-Ruang Kenikmatan. Akan tetapi, manusia jenis dirinya hilang perlahan karena manusia kini telah mengandalkan kekuatan dan kemampuan pada benda-benda yang diciptakan. Benda-benda itulah menghilangkan manusia jenisnya.
Geram ia melihat akan benda-benda itu yang katanya untuk memudahkan urusan hidupnya padahal baginya benda-benda itulah yang menyusahkan hidup manusia kini. Mesti dibawa ke mana-mana secara lahir dan batin. Ia saja pergi kemana-mana hanya modal bawa tubuh dan menutup kebugilan dengan warna manasuka yang disediakan alam.
Ia menangis sedih. Lalu dengan kesedihan bercampur semangat ingin tahu, ia menelusuri jejak-jejak waktu. Melihat perubahan yang dialami manusia jenisnya, yang meninggalkan kemampuan dan kekuatan akan dirinya, hingga beralih drastis menjadi manusia yang bergantung pada benda-benda.
Dalam perjalanan waktu pulang, menuju masanya, jejak petaka pertama yang ditemui adalah: manusia menulis pada benda! (Ilmu pengetahuan manusia kini menyebutnya sebagai masa awal sejarah dimulai). Mulai muncul manusia jenisnya keinginan menulis untuk menyampaikan maksud lewat benda. Kebiasaan itu menghapus kemampuan dan kekuatan manusia sebelumnya yang mampu berkomunikasi dengan jiwa pada siapa dan apa saja yang dikehendaki.
Terus ia telusuri jejak waktu. Terus dan terus. Singkat cerita, sampailah ia kembali pada masanya. Diketahuilah akar petaka itu.
Ia pun menangis sepenuh jiwa hingga air matanya mencipta sungai-sungai dan mengumpul menjadi samudera.
Adalah akar petaka kenapa kemampuan dan kekuatan manusia akan dirinya hilang, manusia masanya mulai timbul penyakit "gila" mencari dan memasuki Ruang-Ruang Kenikmatan untuk dirinya sendiri. Lupa membagi kemampuan dan kekuatan itu untuk diteruskan pada generasi selanjutnya agar terus terjaga.
Tak ada yang percaya dan menyadari awal petaka itu. Manusia masanya menganggap bahwa kemampuan dan kekuatan manusia jenisnya adalah suatu yang terberi dan tak akan hilang sepanjang masa. Tak perlu dibagi-bagi.
Ia terus menangis. Apa yang terjadi pada masa depan adalah takdir yang tak bisa terelakkan lagi. Tak ada lagi keinginan menuju Ruang Kenikmatan. Ia beriktikad di bumi saja, menjaga manusia lewat air matanya (yang kelak manusia menyebutnya mata air bumi).
Dalam tangis, ia berharap dan selalu dalam doa; manusia masa depan selalu mengunakan air matanya sebagai langkah awal membersihkan dan menyucikan diri, untuk menuju, mengenali, menguasai, lalu menggunakan kemampuan dan kekuatannya tanpa perlu benda-benda. Dengan air matanya pula, ia berharap ada manusia yang kelak mampu berkomunikasi kembali dengannya. Akan dikisahkan masa lalu yang jauh, yang belum pernah dinderai oleh manusia kini.
Ia masih di bumi, menyatu dalam bumi. Ia menangguhkan keinginan menuju Ruang Kenikmatan sampai janji petaka kehancuran itu tiba. Saat detik-detik janji petaka kehancuran hendak digelar, saat ia merasa telah dipanggil, saat itu pulalah ia segera melesat menuju Ruang Kenikmatan. Bersamaan kepergiannya kelak, mendadak bumi kehilangan mata air dan pergelaran petaka kehancuran bumi pun dimulai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H