Ia terus menangis. Apa yang terjadi pada masa depan adalah takdir yang tak bisa terelakkan lagi. Tak ada lagi keinginan menuju Ruang Kenikmatan. Ia beriktikad di bumi saja, menjaga manusia lewat air matanya (yang kelak manusia menyebutnya mata air bumi).
Dalam tangis, ia berharap dan selalu dalam doa; manusia masa depan selalu mengunakan air matanya sebagai langkah awal membersihkan dan menyucikan diri, untuk menuju, mengenali, menguasai, lalu menggunakan kemampuan dan kekuatannya tanpa perlu benda-benda. Dengan air matanya pula, ia berharap ada manusia yang kelak mampu berkomunikasi kembali dengannya. Akan dikisahkan masa lalu yang jauh, yang belum pernah dinderai oleh manusia kini.
Ia masih di bumi, menyatu dalam bumi. Ia menangguhkan keinginan menuju Ruang Kenikmatan sampai janji petaka kehancuran itu tiba. Saat detik-detik janji petaka kehancuran hendak digelar, saat ia merasa telah dipanggil, saat itu pulalah ia segera melesat menuju Ruang Kenikmatan. Bersamaan kepergiannya kelak, mendadak bumi kehilangan mata air dan pergelaran petaka kehancuran bumi pun dimulai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H