Mataku tak berkedip. Orang tua ini tahu juga aplikasi ini. Kalah anak muda. Banyak tak tahu. Ia mengikuti perkembangan zaman.
Aku ketikkan nama kotaku. Lalu ia memintaku pilih 'satelite'. Biar lebih jelas nampak kota kita. Lalu ditunjukkan dan diterangkanlah kota kami yang terancam bah.
Ada pertemuan dua cabang sungai di selatan kota kami. Satu cabang sungai ke selatan kiri kota, ke arah hulunya, sekitar 27 Km, hutan bisa dilihat makin meluas ditebang, kata mertuaku.
Dari google maps ditunjukkan warna hijau tua. Deretan hijau tua yang berbaris rapi dan dibatasi garis-garis jalan adalah adalah perkebunan sawit milik PT X yang diresmikan sejak 1996. Dulu mertuaku sempat menentang. Perkebunan itu sangat dekat ke hulu. Tapi masa Soeharto, menentang adalah separatis. Aku mulai bergidik.
Semua yang ditunjukkannya adalah hutan-hutan yang dirambah. Karena inilah saat hujan lebat di hulu, tanah tak lagi menyerap. Tumpah plek ke sungai menuju kota kami.
Sejak tahun 1996, bersamaan diresmikannya PT X, mulailah banjir pertama kali datang menggenangi kota kami. Mertuaku protes lagi ke camat, ke bupati, tetapi tak didengar. Ada keuntungan antara beberapa pemangku kepentingan dengan berdirinya PT X ini. Bahkan media pun bisa dibungkam. Banjir hanya disebut karena hujan lebat, sungai meluap. Itu saja. Tak disinggung luasnya hutan yang terus dirambah. Merinding aku.
Peristiwa banjir tahun 1996 merupakan yang pertama terbesar. Belum pernah terjadi sepanjang Abu lahir dan besar di kota ini. Aku pun ingat masa SMP ketika banjir itu. Dapat bantuan buku tulis, buku gambar, dan pulpen. Senang luar biasa. Tak sadar bahwa begitu banyak kesulitan yang muncul pascabanjir itu.
Perabotan, kasur, apa saja isi rumah, rusak karena banjir. Tempat usahanya tak sempat, tak berhasil diselamatkan. Surat-surat penting, termasuk ijazah SD-ku, juga rusak dan harus diurus lagi orang tuaku. Aku mana peduli, mana beban, dan mana tahu-menahu. Semua masalah itu ditanggung beban orang tuaku.
Lalu berturut-turut setiap hujan lebat, sungai keruh berarus deras. Berpusar-pusar. Seperti mengamuk. Sesekali kulihat gelondongan kayu lewat saat aku dan abangku memancing di tepian sungainya. Aku ingat dan sangat berkesan, pemuda yang menunggu gelondongan kayu lewat. Ia menariknya dengan cara melempar kait baja di ujung tali. Kadang berhasil ditarik gelondongan kayu itu, kadang tidak.
Pernah di titik-titik pinggiran sungai tertentu, dibuat talud sungai dengan tiang pancang besi, penahan batu-batu belah. Sebelumnya batu belah dengan kawat saja, tanpa tiang. Semua pembangunan itu Lenyap. Tanpa jejak. Termasuk tiang pancang. Raib. Arus sungai terus menggerus kedua sisi sungai. Melebar dan terus melebar. Memakan setiap penghalangnya.