Mohon tunggu...
Fazil Abdullah
Fazil Abdullah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulislah bila itu cahayamu. (Instagram/fazil.abdullah

Cerpen Perempuan yang Meminta Rokokmu dan Mogok di Hutan mendapat penghargaan dari Kompasiana (2017 dan 2018). _____________________________________________ linktr.ee/fazilabdullah 👈 merupakan pintu masuk menuju dunia karya saya. silakan masuk dan jelajahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bah yang Akan Datang ke Kota Kami

31 Maret 2017   13:41 Diperbarui: 6 Desember 2020   11:08 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Metrotvnews.com/M Rizal)

Sungai melintang di tepi kota ini. Airnya sering meluap saat hujan lebat di hulu. Saban tahun selalu banjir. Penduduknya sudah akrab berkawan banjir. Hidup adalah cobaan, begitulah nasihat penguat hati kami.

"Cobaan banjir tak seberapa ini, Nak. Kelak akan lebih parah," kata mertua kepada istriku yang baru saja mengeluhkan pasar yang tutup. Banjir ini melumpuhkan kami. Ia tak bisa belanja. Tak bisa masak selain mie rebus dan telur hari ini.

Di luar, luapan sungai masih bergerak menuju bentangan persawahan. Belum menunjukkan surut. Hujan juga belum reda di luar. Ketinggian banjir hampir mencapai lantai rumah panggung kami. Hampir semeter.

Aku sedang menonton. Menjadi perhatian saat mendengar apa yang dikatakan mertuaku: 'kelak akan lebih parah.' Mertuaku bermaksud menenangkan anaknya jangan mengeluh. Kuatkan hati. Simpan atau buang keluhan itu. Keluarkan saja keluhan nanti pada cobaan yang lebih besar lagi. Aku terusik ketenangan.

Hari ini aku juga sudah mengeluh. Tak jadi mengajar. Sekolah dirayap air setengah lutut, kata penjaga sekolah. Nanti akan tambahan kerjaan usai banjir surut. Ah.

"Bagaimana ceritanya, Abu, 'kelak akan lebih parah'?" tanyaku.

"Tanda-tanda menunjukkan begitu," jawab Abu. Aku berkerut. Sedikit kecewa. Itu bukan penjelasan, Abu. Ah!

Aku alihkan wajahku ke teras. Anakku, Raja dan Syifa, sedang bermain dengan kapal kertas yang dilempar ke banjir. Si Raja naik ke pagar teras hendak melempar kapal kertas bikinannya. Aku sigap bangkit dan segera mencegahnya.

"Rajaaa, jangan!" Kuambil dia dan kudirikan di teras. Kutatapi keduanya. "Abang Raja, Adek Syifa, jangan naik pagar ini, ya. Nanti bisa jatuh. Tuh liat banjirnya. Bahaya. Bisa tenggelam Abang Raja sama Adek Syifa. Nanti kalo udah gede, boleh naik pagar. Loncat berenang juga boleh." Aku usap-usap lembut pundak mereka.

Mereka mengerti dan menurut. Masih ceria wajah mereka. Tak ada beban. Banjir ini adalah masalah bagi orang dewasa tapi bagi mereka adalah hiburan. Terlebih ketika mereka tahu sekolah libur. Meloncat kegirangan. Aku geleng-geleng. Libur lebih disenangi dari sekolah.

"Ayah, bikinin kapal."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun