Begini, karena kebanyakan materi yang diujikan merupakan bahasa arab. Jadi, kami sering melafalkan atau membaca dengan suara saat belajar.
Di antara manfaatnya, pikiran kami lebih fokus dan tidak terbang ke mana-mana. Nah, ada beberapa teman kami yang memanfaatkan fenomena tersebut.
Mereka menguping orang-orang yang melafalkan pelajaran. Anda boleh percaya atau tidak. Namun, itu memang terjadi di pesantren saya.
Jadi, ketika temannya belajar dengan melafalkan, orang-orang yang dalam tanda kutip 'cerdik' itu datang mendekat, berpura-pura membaca buku, tetapi rupanya diam-diam mendengarkan orang yang melafalkan pelajaran tadi.
Hal itu pernah juga saya lakukan dan terbukti itu memang metode belajar yang cerdas. Dari menyimak, kita bisa mendapatkan intisari pelajaran yang dibacakan dan kata-kata kunci yang bisa kita ingat-ingat kala ujian nanti.
Lantas mengapa sampai harus menguping diam-diam?
Bayangkan, bagaimana rasanya Anda yang capek-capek berupaya, sementara ada seseorang yang menumpang dan bisa jadi mendapatkan nilai lebih tinggi dari Anda? Tentu tidak ingin bukan?
Nah, kejadian itu sering terjadi di pondok saya. Maka dari itu, kebanyakan dari kami, tidak ingin ada orang yang diam-diam menguping saat kami belajar dan melafalkan pelajaran.
Wkwkw, seperti itulah persaingan di pesantren kami. Setidaknya, itu yang saya rasakan. Saya bahkan sempat berpikir, seandainya kala itu saya punya rekaman-rekaman audio materi pelajaran. Saya bisa bawa-bawa itu ke mana pun selama masa persiapan ujian.
Namun, sekali lagi, itu hanya sebatas awang-awang belaka. Seiring waktu, setelah saya menamatkan pendidikan di pesantren, saya lanjut berkuliah dan lulus di perguruan tinggi Surabaya.
Menariknya, ingatan saya soal ujian akhir di pesantren itu kembali muncul saat saya bekerja sebagai marketing di sebuah aplikasi belajar online. Dari sekolah ke sekolah, saya mengenalkan produk aplikasi belajar online yang bisa diakses melalui gadget di mana pun dan kapan pun.