Sejak awal, ayah saya adalah figur pria yang kurang ekspresif. Dia lebih mengedepankan rasional ketimbang emosi. Seingatku hingga aku berusia 24 tahun kala itu, hampir tidak pernah dia menyoal perasaannya yang benar-benar ia rasakan.
Sebagai contoh, seringkali ibuku bercanda dengannya dan bertanya, “Pak, kenapa dulu milih saya? Kan ada yang lainnya?”. Ayahku tidak lantas mengakui, bahkan dengan ketusnya menjawab, “Iya, orang kamu guna-guna gitu!”.
Selalu seperti itu, tidak pernah sekalipun beliau mengucapkan “I Love You” ke ibuku, setidaknya di hadapan saya dan adik saya, padahal kami anak-anaknya sendiri.
Tapi tentu, ibuku tahu dengan jelas, betapa ayahku mencintainya. Dia memang tidak suka menunjukkannya dengan kata-kata, tapi bisa terlihat dengan tindakannya.
Bagaimana mungkin dia (ayahku) tidak mencintai ibuku, sementara ayahku rela pulang-pergi (PP) dari Nganjuk (rumahku)-Surabaya (kantornya) setiap hari. Padahal, butuh waktu sekitar 3 jam dengan bus sekali jalan. Dan itu terus dilakoninya 6 hari dalam seminggu. Apalagi, harus bekerja dengan shift.
Jadi, kalau masuk pagi, ayahku sudah berangkat sejak dini hari. Kalau shift siang, ayahku baru sampai rumah dini hari. Tidak jarang, ayahku pulang dengan kondisi menggigil karena dinginnya angin malam.
Saking tidak teganya, ibuku berkali-kali memintanya untuk menyewa indekos saja di Surabaya. Baru kalau libur, pulang. Tapi tak pernah sekalipun ayahku mengindahkannya. Ia selalu beralasan, ingin mengontrol kebun belakang dan peliharannya di rumah.
Padahal kami tahu, itu bentuk kecintaan ayah pada ibuku. Ia tidak tega melihat ibuku di rumah sendirian karena aku dan adikku mondok di luar kota.
Tindakan serupa itu juga ia lakukan kepada kami anak-anaknya. Tidak pernah ia mengucapkan, “Aku mencintaimu, Nak!” atau “I Love You, Son!”. Sama sekali!
Tapi ibuku pernah cerita sewaktu kami liburan di rumah. Kepada ibuku, ayahku pernah mengeluh, salah satu kesedihannya, apabila anaknya menelepon dan meminta uang – entah untuk bayaran sekolah atau jajan – tapi dia tidak sanggup segera mengirimkan uang itu.
“Itu ibu sama bapakmu di rumah sampai-sampai makan tahu dan tempe segitiga setiap hari,” ujar ibu saya sambil mengenang momen itu.