Mohon tunggu...
Fahmi Aziz
Fahmi Aziz Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penikmat kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pertama dan Terakhir, Sepasang Sepatu untuk Ayah

30 Desember 2020   06:27 Diperbarui: 30 Desember 2020   06:44 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepasang sepatu hadiah untuk ayah. Foto: Dokpri

Kuakui karakter seluruh anggota keluargaku kurang ekspresif. 

Bukan berarti, kami memiliki gangguan psikologis. Tidak! Hanya saja, kami tidak terbiasa mengungkapkan perasaan kami satu sama lain secara verbal.

Semisal pada 22 Desember lalu, tidak ada satupun – baik aku atau adik laki-lakiku – yang mengucapkan ‘Happy Mother’s Day’ pada ibu kami. Karena memang tidak ada kebiasaan seperti itu di dalam keluarga kami. 

Apakah kami berdua menyayangi ibu saya? Tentu saja, kami mencintainya. Tak hanya pada 22 Desember itu, bahkan 365 hari dalam setahun, insya Allah kami menyakini dalam hati, selalu mengasihi sosok wanita hebat itu. 

Adapun, ucapan selamat seperti itu jarang terdengar, maksimal memberi selamat ulang tahun. Aku sendiri tidak tahu sejak kapan situasi itu bermula. Yang pasti, memang seperti itulah adanya hingga aku beranjak dewasa, dan aku pikir itu normal. 

Setelah kupikirkan berulang kali, saya menemukan satu petunjuk, yang mungkin menjadi penyebabnya. 

Adalah almarhum ayah saya. 

Ayah memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap segala aspek di dalam keluarga, baik langsung maupun tak langsung. 

Bagi kami, sosok ayah sangat ideal. Saya tidak berbicara banyak materi atau tinggi jabatan yang dimiliki oleh beliau. Hanya saja, selalu ada keyakinan mutlak, apapun masalah yang menimpa keluarga kami, ayah selalu ada untuk kami semua. Mau hujan atau badai, ada karang besar yang melindungi kami sekeluarga, yaitu keberadaan ayah.

Pengaruhnya membawa warna tersendiri untuk keluarga kami. Termasuk perihal tidak adanya kebiasaan dalam keluarga kami untuk megatakan bentuk ucapan-ucapan seperti sebelumnya. Padahal, ayah saya tidak pernah melarang. 

Sejak awal, ayah saya adalah figur pria yang kurang ekspresif. Dia lebih mengedepankan rasional ketimbang emosi. Seingatku hingga aku berusia 24 tahun kala itu, hampir tidak pernah dia menyoal perasaannya yang benar-benar ia rasakan.

Sebagai contoh, seringkali ibuku bercanda dengannya dan bertanya, “Pak, kenapa dulu milih saya? Kan ada yang lainnya?”. Ayahku tidak lantas mengakui, bahkan dengan ketusnya menjawab, “Iya, orang kamu guna-guna gitu!”. 

Selalu seperti itu, tidak pernah sekalipun beliau mengucapkan “I Love You” ke ibuku, setidaknya di hadapan saya dan adik saya, padahal kami anak-anaknya sendiri.

Tapi tentu, ibuku tahu dengan jelas, betapa ayahku mencintainya. Dia memang tidak suka menunjukkannya dengan kata-kata, tapi bisa terlihat dengan tindakannya.  

Bagaimana mungkin dia (ayahku) tidak mencintai ibuku, sementara ayahku rela pulang-pergi (PP) dari Nganjuk (rumahku)-Surabaya (kantornya) setiap hari. Padahal, butuh waktu sekitar 3 jam dengan bus sekali jalan. Dan itu terus dilakoninya 6 hari dalam seminggu. Apalagi, harus bekerja dengan shift

Jadi, kalau masuk pagi, ayahku sudah berangkat sejak dini hari. Kalau shift siang, ayahku baru sampai rumah dini hari. Tidak jarang, ayahku pulang dengan kondisi menggigil karena dinginnya angin malam.

Saking tidak teganya, ibuku berkali-kali memintanya untuk menyewa indekos saja di Surabaya. Baru kalau libur, pulang. Tapi tak pernah sekalipun ayahku mengindahkannya. Ia selalu beralasan, ingin mengontrol kebun belakang dan peliharannya di rumah. 

Padahal kami tahu, itu bentuk kecintaan ayah pada ibuku. Ia tidak tega melihat ibuku di rumah sendirian karena aku dan adikku mondok di luar kota.

Tindakan serupa itu juga ia lakukan kepada kami anak-anaknya. Tidak pernah ia mengucapkan, “Aku mencintaimu, Nak!” atau “I Love You, Son!”. Sama sekali! 

Tapi ibuku pernah cerita sewaktu kami liburan di rumah. Kepada ibuku, ayahku pernah mengeluh, salah satu kesedihannya, apabila anaknya menelepon dan meminta uang – entah untuk bayaran sekolah atau jajan – tapi dia tidak sanggup segera mengirimkan uang itu. 

“Itu ibu sama bapakmu di rumah sampai-sampai makan tahu dan tempe segitiga setiap hari,” ujar ibu saya sambil mengenang momen itu. 

Dan kisah-kisah ini tidak pernah ayahku ceritakan. Tapi perasaannya selalu tersalurkan kepada kami sekeluarga tanpa harus diucapkan. “Actions speaks more than words”. Mungkin begitulah gayanya, dan itu menular kepada kami sekeluarga. Dan kami juga terbiasa dengan sikapnya.

Suatu ketika, aku membelikannya sepatu. Lantaran sepatunya yang lama jebol. Ketimbang disol, tapi nanti jebol lagi, mending sekalian beli baru. Apalagi, perjalanan ayah saya PP Surabaya-Nganjuk. Juga kebetulan kala itu, saya kuliah sembari bekerja sampingan, jadi ada beberapa uang di tabungan. 

Sesaat saya berikan sepatu baru itu ketika ayahku akan berangkat kerja. Dia sedikit terkejut dan termenung sejenak. Tidak banyak komentar yang keluar dari bibirnya, hanya ucapan terima kasih. Saya tak banyak berpikir. Tapi berhari-hari setelah itu, saya lihat, sepatu yang saya beli tidak kunjung ia pakai. Apa ayah saya tidak suka?

Beberapa kali saya tanya. Tapi dia selalu menjawab, kalau itu nanti buat cadangan, kalau-kalau sepatunya yang lama tidak bisa dipakai sama sekali. Seperti itu selalu jawabannya. Sampai-sampai, saya lupa masalah itu.

Hingga ayahku meninggal. Banyak pelayat berdatangan ke rumah, termasuk teman-teman sekantornya. Mereka mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya ayah saya. Alhamdulillah, almarhum dikenal sebagai atasan yang teladan bagi juniornya. 

Di antara rekan kantornya, ada salah satu teman dekat ayah bernama “Mas Aris”. Ia mengaku terkejut ketika ayah saya meninggal. Kemudian, dia menceritakan berbagai kisah bersama almarhum. Salah satunya, ketika ayah saya pernah datang ke kantor, Mas Aris melihat sesuatu yang tidak biasa. Ayah saya tiba di kantor dengan mata berkaca-kaca. 

“Ada apa, Pak Gofar?” ia berinisiatif bertanya.

“Barusan anak saya, ngasih sepatu baru ke saya,” jawabnya jujur, dengan tangis haru dan bangga. 

Seketika itu, saya ingin mengumpat diri saya. Saya tidak tahu kalau hadiah itu menjadi hadiah pertama dan terakhir yang saya berikan kepada ayah. Sepasang sepatu yang harganya tidak lebih dari Rp 300 ribu. 

Aku ingin langsung memprotes kepada ayahku.

Begitu sepatu itu, berkesannya bagimu. Bagimu, yang tidak memedulikan tubuhmu, pulang-pergi Surabaya-Nganjuk. Bagimu, yang tidak memusingkan penampilanmu. Hadiah itu terlalu sederhana, Ayah!

Lalu bagaimana dengan jasamu pada kami sekeluarga. Mungkin bagimu, merupakan kewajiban sebagai kepala keluarga untuk menafkahi kami. Sesederhana itu, Tapi bagi kami? Bagi kami, semua yang kamu  lakukan dan bagikan, itu adalah segalanya. Segalanya!

Aku menjadi emosional setiap kali mengingat itu. 

Yah, setidaknya sekali dalam seumur hidupku, aku bisa memberi hadiah untuk ayahku. Meski tidak seberapa. Tapi, kupikir ayahku sangat bahagia menerimanya. Semoga itu menjadi kenangan indah untuknya di alam sana.

Ini juga pelajaran terakhir yang bisa kau ajarkan untukku. Tidaklah segalanya, diukur secara materiil. Bisa jadi sesuatu yang sederhana bagimu, tapi nilainya sangat berharga bagi orang lain. Oleh karena itu, tidak perlu banyak bicara, lakukan yang terbaik untuk orang-orang di sekitarmu.

Tidak hanya terhadap keluarga, tapi juga sesama manusia, terutama yang membutuhkan. Dengan apa? Seperti yang sering ayah contohkan, dengan berbagi, memberi dan menyantuni. Tidak perlu terlalu banyak berkata-kata. 

Terakhir, mungkin tidak banyak yang bisa kulakukan untukmu lagi, Ayah, selain dengan berdoa. Tapi kuharap, bila Engkau di sana mungkin membaca tulisan ini. aku, adik dan ibu menyampaikan salam, “We love you, Dad!”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun