Saya dan beberapa kawan di Komisi I sangat menyadari bahwa tidaklah mudah untuk menekan hasrat beberapa pejabat yang selama ini diuntungkan oleh impor alutsista. Mentalitas manipulatif dan meraih keuntungan secara instan sudah berlangsung sejak lama, karenanya tidaklah mudah untuk dikikis. Hanya saja, kenyataan yang memperihatinkan ini menjadi pendorong bagi kami untuk lebih rajin 'rewel' dalam rangka mengawal tujuan kemandirian alutsista. Sudah 'diteriakin' saja masih saja melenceng apalagi dibiarkan. Tanpa pengawasan yang ketat, maka lima tahun mendatang baru kita tersadar bahwa dana 57 triliun tersebut tidak bermanfaat apa-apa dalam membangun kejayaan bangsa.
Kedua, pembenahan ibukota Jakarta. Ruwetnya pembenahan ibukota Jakarta disebabkan oleh pertautan dua mentalitas yang tidak benar, yaitu mentalitas manipulatif para pejabat dan mentalitas tidak disiplin masyarakatnya. Di sisi pejabat, anggaran-anggaran yang diajukan untuk pembenahan ibukota lebih dilihat sebagai ajang memperkaya diri sendiri, bukan pada menyelesaikan persoalan sebenarnya. Sementara di sisi masyarakat, kesadaran untuk mematuhi aturan sangatlah rendah. Alih-alih patuh, kebanyakan malah merasa bangga karena mampu melanggar peraturan. Adagium mereka: peraturan dibuat untuk dilanggar. Contoh sederhana lihat saja perilaku pengendara (motor dan mobil) di jalan raya: betapa tidak disiplin, tidak taat aturan, dan tidak menghargai satu sama lain. Seperti saat ujian di sekolah, kalau tidak ada pengawas ujian maka semua hal boleh dilakukan. Hal itu juga berlaku di jalan raya. Selama polisi tidak ada maka semua hal boleh mereka lakukan. Yang ditakuti para pengendara jalan raya bukanlah aturan tapi adalah polisi.
Contoh lain yang sangat kasat mata di wilayah DKI Jakarta adalah pelanggaran aturan 3 in 1. Kebijakan Pemda DKI mengenai 3 in 1 (Perda No. 12/2003) bertujuan untuk mengurangi tingkat kemacetan dan mengÂurangi jumlah kendaraan di JaÂkarta, khususnya pada jam-jam tertentu di pagi hari (07.00 - 10.00 wib) dan sore hari (16.00 - 19.00 wib) di titik-titik tertentu, karena jalur tersebut merupakan jalur padat kendaraan. Masyarakat kita yang sudah terlanjur kreatif menyiasati dan memanipulasi aturan, memanfaatkan aturan ini sebagai lahan mengais rezeki dengan menawarkan diri sebagai penumpang bayaran (joki). Sehingga muncullah konsekuensi yang tidak diinginkan, yaitu berupa persekutuan manipulatif antara joki dan pengendara mobil berpenumpang kurang dari tiga. Hasilnya, alih-alih menyelesaikan persoalan, aturan tersebut melahirkan persoalan sosial baru oleh karena mentalitas manipulatif masyarakatnya.
Berbenah
Apa yang harus kita lakukan sekarang?
Melahirkan generasi bangsa yang unggul, disiplin, pantang menyerah, taat aturan dan sebagainya tidak bisa serta merta dalam satu tahun dua tahun. Mereka harus dibina selama kurun waktu yang bisa dikatakan tidak pendek. Karena itu, jika kita mendambakan generasi muda bangsa unggul secara intelektual dan keahlian serta memiliki mentalitas yang benar, maka model kurikulum pendidikan kita sekarang jelas membutuhkan perbaikan yang berorientasi pada pembentukan karakter yang kita idamkan tersebut.
Satu hal yang harus kita sadari, kultur ataupun model pembelajaran yang berkembang di lembaga pendidikan akan sangat mempengaruhi kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara kita di masa depan. Pendidikan itu selalu bersifat antisipatoris dan preparatoris, yaitu selalu mengacu ke masa depan dan selalu mempersiapkan generasi bangsa untuk kehidupan masa depan. Kondusif atau bobroknya mentalitas dan cara berpikir generasi bangsa di masa depan sangat tergantung pada lembaga pendidikan kita pada saat sekarang.
Saya melihat, kurikulum sekolah tidak mendukung bagi pembentukan generasi idaman, generasi yang cakap mengarungi kehidupan. Salah satu kelemahan mendasarnya adalah, bahwa kurikulum sekolah melupakan pemberdayaan kecakapan manusia secara paripurna.
Setiap manusia memiliki dua sisi otak yang sama-sama harus mendapat asupan gizi agar dia berkembang secara paripurna, yaitu otak kiri dan otak kanan. Otak kiri berkaitan dengan IQ (Intelligence Quotient) seperti hal perbedaan, angka, urutan, tulisan, bahasa, hitungan dan logika. Daya ingat otak kiri bersifat jangka pendek (short term memory). Sementara otak kanan berkiatan dengan EQ (Emotional Quotient), seperti hal iman, persamaan, khayalan, kreativitas, bentuk atau ruang, emosi, musik dan warna. Daya ingat otak kanan bersifat jangka panjang (long term memory).
Pendidikan kita sekarang hanya fokus pada pemberdayaan otak kiri (IQ) dan melupakan pemberdayaan kecakapan otak kanan. Itu bukan berarti bahwa sekolah hanya memberikan mata pelajaran seperti matematika, bahasa, dsb , dan melupakan pelajarna agama, etika, menggambar, dan semacamnya. Akan tetapi semua pelajaran diajarkan dengan pendekatan 'hafalan', bahkan pelajaran agama dan etika sekalipun. Seperti dalam pelajaran agama, anak didik hanya dijejali pengetahuan yang bersifat definitif dan harus dihafal (apa itu rukun iman, rukun Islam, berupa jumlah nabi, berapa rukun shalat, kapan perang badar, dst); bukan mengarahkan anak menghayati nilai-nilai terdalam dari ajaran agama tersebut. Sehingga tidaklah heran jika jika melihat fenomena sosial yang paradoks: beribadah rajin, korupsi juga rajin; ngomong agama fasih, melakukan tindakan amoral juga hebat.
Pendidikan kita juga lupa melihat kemampuan anak yang berbeda. Seorang anak tidak pernah diajarkan menggali apa keahlian dia sesungguhnya. Tidak ada kesempatan untuk menggali dan memilih keahlian yang berbeda. Yang ada hanyalah penyeragaman, semua dianggap sama. Suka atau tidak suka sejarah, di SMP harus belajar sejarah. Suka atau tidak suka pelajaran biologi, semua anak harus belajar anatomi tubuh, dan sebagainya. Kalaupun ada penjurusan, itu baru dilakukan pada saat kelas dua SLTA.