Mohon tunggu...
Aldian Faxa
Aldian Faxa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku adalah aku yang sedang mencari siapakah aku. Aku mungkin budak, aku mungkin sarjana, aku mungkin hanya rakyat biasa. Tetapi aku punya mulut punya otak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Fajar Di Minggi Gerimis

25 Januari 2014   22:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:28 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagaimana jalannya sehingga ia menyebut-nyebut akan datangnya kematian dalam buku catatannya? Pada lembar-lembar terakhir catatannya pula. Apakah setiap kematian selalu didahului dengan pertanda, pertanda dari orang yang akan hilang nyawanya? Ia masih muda dan belum mencapai apa yang sebenarnya jadi harapan orangtuanya: lulus.

Sepenuhnya aku mengerti maksud kawanku mengapa ia berkeras hati bekerja dan sengaja mendiamkan tugas akhirnya. Ia tidak ingin menjadi beban, malah ia ingin dibebani, dengan demikian ada alasan atau bahkan paksaan agar hutang budi orangtuanya dapat terbalas. Pemikiran semacam itu kadang-kadang berada pada batas tanggungjawab moral (dan ia malah menertawakan ini) dan kenekadan.

Dosenku pernah bilang; apa yang terpenting bagi orangtuamu adalah melihat putranya lulus. Kepuasan semacam itu tidaklah dapat digambarkan dan ditaksir, padahal sulitnya mencari pekerjaan kadang-kadang sanggup melahap habis kebahagiaan atas kelulusan anaknya. Tapi orangtua punya jalan pikiran sendiri, mereka yakin dengan melewati tahap kelulusan pasti pintu rejeki semakin terbuka lebar, atau kadang berlebih-lebihan dalam pengharapannya; pintu rejeki yang tak terpikirkan terbuka buat kita dan menyeret kita kesana memberi kesuksesan. Bagi mahasiswa yang nyambi kerja, ini cukup melenakan karena akan menyita banyak waktu pekerjaannya, bahkan harus mengambil cuti kerja. Atau malah berhenti.

Beliau masih menambahi; ambisi yang berapi-api juga perlu diimbangi dengan kesabaran yang tak kalah berapinya. Juga peluang kerja yang didepan mata, yang kita yakin akan membawa kebahagiaan buat kita. Tidakkah begitu berat mundur sejenak lalu selesaikan kewajiban demi keinginan orangtua kita? Mereka akan membebaskan kita setelah gelar kelulusan itu kita capai. Dan kebebasan itulah wujud kepercayaan sepenuhnya dari orangtua.

Dan kau kawan, kau cerdas dan sebetulnya mampu. Bahkan aku mengirikan kemampuanmu itu. Tapi, tapi kau benar-benar anak yang terlalu sayang pada orangtua. Tak ada yang bisa menyalahkan, dan tak perlu ada yang disalahkan.

**

Hari Minggu.

Sebagian besar catatannya berupa renungan pribadi dan rencana matang tentang hal-hal yang kelak akan ia lakukan. Aku masih saja mencari-cari hal yang unik, yang ia sembunyikan dariku. Mungkin ada. Catatan pribadi semacam ini tentu menyimpan rahasia bagi penulisnya sendiri.

Benar juga, kutemukan. Dan apapula ini? ia juga menulis! Dapat upah! Dimana? Sejak kapan?

“20 November 2012—Redaksi menerima tulisanku yang sudah kuendap beberapa minggu di ‘kantong persediaan’. Masih ada belasan tulisan di laptop, semuanya tentang kesukaanku pada alam. Ya, kesukaan yang berlebih-lebihan menurutku. Mungkin redaksi ini cocok dengan karakter tulisan ini, tentang alam, tentang budayanya, tentang masyarakatnya, dan tentang dunia yang belum tersentuh sama sekali. 200.000 adalah jumlah yang besar, kepuasannya itu yang mengembungkan kebesarannya. Akan kuserahkan sebagian untuk adik-adikku.”

“...bagus, tulisanku diterima untuk edisi minggu depan. Rupanya majalah ini bisa jadi ladang uangku...”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun