“Bukan, kawan. Hanya beberapa rahasia kecil. Kau pasti terkejut,”
“Itu.. catatan itu,” ia menambahi, “semua yang kualami, semua hanya pemikiran seorang pemuda yang tak bisa tenang, gelisah dan barangkali tak penting,” kembali ia tersenyum kecil. Senyum yang penuh teka-teki.
“Dan jangan baca dihadapanku,” ia mengulangi permintaannya.
“Begitu, baiklah. Aku jadi tak sabar,” jawabku tersenyum pula. Senyum keheranan dan penuh duga-duga.
Dalam guyuran hujan dan hembusan angin yang cukup kencang, aku pulang dengan mengantongi tanda tanya besar. Sesungguhnya tak terpikirkan olehku ia akan meminjami buku catatan pribadinya. Apalagi dalam suasana seperti ini. Kembali pikiran yang tidak-tidak membayang-bayang di kepala. Ah, tidak mungkin, bantahku pada pikiran itu sendiri.
Itu terjadi tiga hari yang lalu sebelum ia koma. Dan catatan itu tak kunjung kubaca. Aku menjadi terlalu berlebihan membayangkan yang tidak-tidak.
**
Hari Jumat, disiang hari.
Waktu itu gerimis. Dan lorong sekitar ICU tampak begitu sepi dengan pembisuannya. Hampir-hampir detik jam dinding terdengar jernih meski terpisah jauh dariku. Aku rasai tekanan muncul mendesak dalam hati, dan kekhawatiran pula yang melayang-layang membentuk bayangan kematian. Bukankah ini juga pertanda? Tidak!, pikirku. Tak ada pertanda, tak ada kematian. Dokter akan menyembuhkannya. Pasti!, pasti!.
Moga-moga dapat disembuhkan. Ya, moga-moga. Aku percaya tim medis itu bisa menyembuhkan kawanku, lewat obat dan lewat operasi atau apapun itu. Dan Tuhan, Dia Maha Adil dan Maha Mengetahui. Satu umat-Nya meminta dengan sangat, pastilah terkabul. Tapi takdir memiliki jalan sendiri, ia sudah ditetapkan jauh sebelum kita lahir. Ah!, mengapa aku ini? buku catatannya hanya mendorongku pada prasangka yang bukan-bukan, pada kematian. Apakah itu pertanda bahwa ia tahu saat kematiannya? Tidak! itu mustahil, orang tak akan tahu datangnya kematian, juga kawanku ini.
Satu kecemasan lenyap, disambut dengan kecamasan lain yang serupa bentuk dan isinya, datang bersahut-sahutan.