"Biasa aja, karakter masakan Eropa nggak ada rasa" Jawab si Istri, dan kami pun tersenyum kecut.
Jujur saya tidak kebayang, kalau semua warung makan dilarang untuk beroperasi siang hari. Bagaimana saudara-saudara kita yang sedang tidak berpuasa karena satu lain hal, atau saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan?
Dengan menutup sebagian kaca dengan kain agar tidak terlihat dari luar, tidak makan di tempat umum dan memaksa orang untuk ikut makan, saya pikir tidak ada salahnya warung makan tersebut beroperasi di siang hari bulan Ramadan.
Trauma Swepping
Jujur cerita masa lalu mengenai swepping warung makan di bulan Ramadan, sedikit meninggalkan ingatan buruk di memori beberapa orang.
Si suami sempat bercerita, saat sedang mengajar ekskul fotografi di sekolah, ada anak muridnya yang bertanya.
"Kakak Muslim ya? Kalau siang hari di bulan Ramadan ada warung makanan yang buka nggak? Rupanya setelah lewat satu tahun ajaran, si murid baru sadar kalau gurunya seorang muslim.
Sekolah tempat mengajar si Suami memang kuat dengan pendidikan Katoliknya, bahkan di samping sekolah terdapat sebuah bangunan gereja yang cukup megah, jadi wajar kalau sebagian besar muridnya beragama Katolik. Mendapat pertanyaan seperti itu, si suami menjawab santai.
"Buka lah,...tadi saya habis dari Starbuck bertemu dengan klien, lalu menyelesaikan beberapa pekerjaan dan saya tetap puasa. Memang kacanya ditutupi dengan kain tapi mereka masih bisa melayani" Ujar si guru.
Hari terakhir masuk sekolah di tahun ajaran ini, seperti biasa ada tradisi potluck (membawa makanan untuk di makan bersama). Di saat semua murid di kelas menikmati makanan yang di bawa, si Suami tetap berada di dalam kelas berbicara ringan dengan beberapa murid.
Awalnya hampir semua murid sungkan untuk makan dihadapan gurunya yang muslim dan sedang berpuasa. Tapi setelah diyakinkan mereka akhirnya siang itu menikmati makanan bersama-sama.