Mohon tunggu...
Fawaz Muhammad Ihsan
Fawaz Muhammad Ihsan Mohon Tunggu... Penulis - 19 Tahun

jangan sampai lah ide kalah dengan blokade

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pelajar Kritis, Berotak atau Pemberontak?

17 Maret 2019   06:22 Diperbarui: 21 Maret 2019   21:07 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

17/03/2019

Kritis berasal dari kata Yunani , kritikos yang berarti penilaian atau kearifan, dalam bentuk kata tersebut pada abad ke-18. Kali ini, mari berbincang lagi terkait lakon opportunis di dunia pendidikan. Aturan sekolah seringkali menjadi beban bagi siswa, dinilai terlalu mengikat dan mengatur hal yang sebetulnya tidak usah diatur. 

Namun apa sebetulnya makna "beban" bagi para siswa? Kebebasan mereka? Kenakalan mereka yang terus saja diomeli? Memang, kita sepakat bahwa aturan di dunia pendidikan adalah demi terciptanya kenyamanan dan efisiensi dalam pembelajaran hingga meningkatkan disiplin siswa dalam upaya menuntut ilmu.

Pemikiran kritis, terutama pada era Industri 4.0 diperlukan, maaf, sangat diperlukan. Karena di era ini, gagasan dan argumen menjadi tolak ukur kemampuan manusia dalam berkehidupan. Kita tidak lagi dinilai dari tinggi atau berototnya tubuh kita. Namun dari luasnya pengetahuan yang kita pahami dan lugasnya pemikiran yang kita miliki.

Pelajar kritis, ciri berotak atau pemberontak?

Konservatif didalam dunia pendidikan, terutama di Bumi Indonesia kerap dan marak dipertontonkan. Terlebih dengan upaya pemerintah di dalam otoritas Common & Control-nya terhadap dunia pendidikan. Yang dimana, kurikulum disusun oleh pemerintah dan upaya kontrol dilakukan oleh mereka juga. 

Kebijakan ini dikritisi oleh Vincent Ricardo di dalam kanal Youtube-nya dimana pemerintah seharusnya hanya menerapkan otoritas Claimed Control. Dimana mereka menyetujui usulan masing-masing akademisi dan mengontrol sistem pendidikan tersebut.

Sebetulnya pemikiran kritis diperlukan, oleh seluruh umat manusia. Bahkan oleh balita, bahkan oleh para bayi yang baru lahir. Mereka telah dituntut pertama kali untuk berpikir kritis tentang cara bernafas lalu berkedip, tersenyum dan yang lain sebagainya. 

Demikian pemikiran kritis para siswa tidak boleh dicap sebagai keahlian negatif. Karena hak berpikir telah dijamin dalam poin nomor lima di Teori Hak Asasi Manusia yang dipaparkan oleh John Locke dan Aristoteles yaitu kebebasan berpikir dan pers.

Kritis merupakan karakter alami didalam otak manusia, kemampuan untuk menganalisis mana yang menurut mereka benar dan mana yang menurut mereka salah. Namun bukan berarti pragmatis. Juga jiwa kritis memang selalu melekat pada pemberontak. 

Kaum Paralogi, mereka yang berpikir kritis terhadap Kaum Sophis di Athena dulu berusaha mencari celah kebusukan kekuasaan yang selalu dibela oleh pembenaran yang dipaparkan Kaum Sophis (filosof yang dibayar untuk melakukan pembenaran terhadap pembenaran)

Pemikiran kritis pada jiwa siswa sebetulnya tidak usah dilarang, hanya perlu didampingi. Karena, terutama kawula muda memiliki radix yang cukup kuat didalam diri mereka. Karena belum terikat oleh materi dan beban kehidupan. Jadi wajar, pelajar memang sedang dalam tahap pembelajaran. Keliru? Wajar. Mereka hanya butuh pengertian dan pendampingan.

Namun, terlalu kejam menurut saya jika pemikiran kritis dicap negatif bahkan terkesan pemberontak. Sebagai anak muda, tentu memiliki pendapat yang lebih segar dan lebih jernih terkait persoalan yang tengah menimpa mereka. Jangan sampai kita terlalu konservatif, karena menutup kemungkinan pendapat yang berpotensi lebih baik untuk terbit adalah sebuah kejahatan.

Kritik Aturan?

Mahkamah Konstitusi pun mengizinkan Judicial Review didalam setiap kebijakan pemerintah. Atau Mahkamah Agung pun membuka pintu kasasi terhadap penolakan pada kebijakan pemerintah. Artinya, pendidikan kita hari ini harus diisi dengan diskusi padat dan hangat terkait segala persoalan yang mengisi detik kehidupan kita terutama dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. 

Kita harus ingat suatu kejadian lucu ketika Ahmad Dahlan memulai pembangunan ruang kelas yang isinya ada meja dan kursi yang notabene dicap kebarat-baratan dan anti-Islam pada waktu itu. 

Pada saat didatangi oleh seorang kyai yang jauh-jauh datang dari sebuah daerah demi melihat keanehan madrasah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan, kyai itu bertanya "kenapa pakai meja dan kursi? Ini itu hasil orang kafir!" lalu pendiri Muhammadiyah itu dengan enteng menjawabnya dengan sebuah pertanyaan "kyai pergi kesini dengan berjalan kaki?" lalu kyai itu menjawab "saya naik kereta, hanya orang bodoh yang datang jauh-jauh kesini dengan berjalan kaki." Lalu dijawab lagi oleh Ahmad Dahlan "kalau begitu, hanya orang bodoh yang menyebut madrasah ini kafir karena kereta pun buatan orang kafir."

Kurang kritis apa pemikiran Ahmad Dahlan dalam menjawab pertanyaan nyinyir dari seorang kyai tersebut? Apakah itu sebuah keburukan? Tentu kita sepakat, tidak. Pendapat saya terkait mereka yang selalu mengkritisi peraturan disebabkan karena kurangnya pemahaman mereka terkait aturan itu sendiri. Seperti yang dahulu Azka, siswa kelas 12 sampaikan pada sebuah kajian. 

Bahwa kita gagap untuk menafsirkan seonggok kalimat perintah. "Kenapa kita harus membaca?" kata Azka dalam kajiannya*. Lalu dia menjelaskan bahwa seharusnya ada kemampuan kita untuk memahami dan mendalami inti dari sebuah kalimat fi'lunahyi ataupun fi'lulamri. 

Agar ketika kita menyampaikan suatu perintah dan kita menjelaskan mengapa itu harus dilakukan, maka orang yang diperintah akan menerima dan bahkan menjalankannya dengan senang hati.

Salahkah kritis sejak dini?

Tentu saja kita sepakat bahwa jawabannya adalah tidak. Yang salah adalah upaya penutupan kemungkinan timbulnya kebaikan baru. Karena kita tidak mungkin akan bertahan pada sebuah kebijakan yang seiring waktu tidak berguna. Juga saling merasa benar dengan kebenarannya menurut versi masing-masing atau kita sebut sebagai pragmatisme.

Oleh karena itu, kritis selalu melekat pada pelajar yang tengah dalam tahap pembelajaran dan pada diri pemberontak yang selalu berusaha menemukan celah pada suatu kebijakan. Pun pemahaman kita terkait pemberontakan jangan hanya dinilai dari tragedi buruknya saja. 

Karena, jika pemberontakan dinilai buruk maka kemerdekaan Indonesia pun harus kita anggap buruk karena pada saat itu kita (bangsa Indonesia) memberontak terhadap penjajah. Revolusi Prancis juga sama, memberontak kepala negara, pada saat itu Raja Louis XIV demi menegakkan hak-hak dasar kehidupan manusia. 

Juga kisah Martin Luther yang memberontak terhadap Katolik yang pada saat itu korup. Serta Ahmad Dahlan yang pada saat itu memberontak pada kebijakan atau opini masyarakat yang salah terhadap peribadatan dan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu, pemikiran kritis harus ditanamkan sejak dini. Karena itu merupakan dasar analisis berpikir seorang manusia.

Namun pasti, yang harus menjadi catatan, terutama kita yang berada di lingkungan yang menjunjung tinggi nilai etika, upaya berpikir kritis pun harus dibarengi dengan obrolan yang hangat serta etika yang baik. Yang harus dinilai negatif bukanlah berada pada pemikiran kritis para siswa, tapi pada kesalahan yang mereka lakukan. 

Mari membangun lembaga pendidikan ini dengan penuh kebijaksanaan dan kehangatan. Karena hanya dengan dua hal itu, maka akan meningkatkan mutu pendidikan.

Nama saya Fawaz Muhammad Ihsan.

*buat yang tau tau aja

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun