Mohon tunggu...
Fawaz Muhammad Ihsan
Fawaz Muhammad Ihsan Mohon Tunggu... Penulis - 19 Tahun

jangan sampai lah ide kalah dengan blokade

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pelajar Kritis, Berotak atau Pemberontak?

17 Maret 2019   06:22 Diperbarui: 21 Maret 2019   21:07 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemikiran kritis pada jiwa siswa sebetulnya tidak usah dilarang, hanya perlu didampingi. Karena, terutama kawula muda memiliki radix yang cukup kuat didalam diri mereka. Karena belum terikat oleh materi dan beban kehidupan. Jadi wajar, pelajar memang sedang dalam tahap pembelajaran. Keliru? Wajar. Mereka hanya butuh pengertian dan pendampingan.

Namun, terlalu kejam menurut saya jika pemikiran kritis dicap negatif bahkan terkesan pemberontak. Sebagai anak muda, tentu memiliki pendapat yang lebih segar dan lebih jernih terkait persoalan yang tengah menimpa mereka. Jangan sampai kita terlalu konservatif, karena menutup kemungkinan pendapat yang berpotensi lebih baik untuk terbit adalah sebuah kejahatan.

Kritik Aturan?

Mahkamah Konstitusi pun mengizinkan Judicial Review didalam setiap kebijakan pemerintah. Atau Mahkamah Agung pun membuka pintu kasasi terhadap penolakan pada kebijakan pemerintah. Artinya, pendidikan kita hari ini harus diisi dengan diskusi padat dan hangat terkait segala persoalan yang mengisi detik kehidupan kita terutama dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. 

Kita harus ingat suatu kejadian lucu ketika Ahmad Dahlan memulai pembangunan ruang kelas yang isinya ada meja dan kursi yang notabene dicap kebarat-baratan dan anti-Islam pada waktu itu. 

Pada saat didatangi oleh seorang kyai yang jauh-jauh datang dari sebuah daerah demi melihat keanehan madrasah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan, kyai itu bertanya "kenapa pakai meja dan kursi? Ini itu hasil orang kafir!" lalu pendiri Muhammadiyah itu dengan enteng menjawabnya dengan sebuah pertanyaan "kyai pergi kesini dengan berjalan kaki?" lalu kyai itu menjawab "saya naik kereta, hanya orang bodoh yang datang jauh-jauh kesini dengan berjalan kaki." Lalu dijawab lagi oleh Ahmad Dahlan "kalau begitu, hanya orang bodoh yang menyebut madrasah ini kafir karena kereta pun buatan orang kafir."

Kurang kritis apa pemikiran Ahmad Dahlan dalam menjawab pertanyaan nyinyir dari seorang kyai tersebut? Apakah itu sebuah keburukan? Tentu kita sepakat, tidak. Pendapat saya terkait mereka yang selalu mengkritisi peraturan disebabkan karena kurangnya pemahaman mereka terkait aturan itu sendiri. Seperti yang dahulu Azka, siswa kelas 12 sampaikan pada sebuah kajian. 

Bahwa kita gagap untuk menafsirkan seonggok kalimat perintah. "Kenapa kita harus membaca?" kata Azka dalam kajiannya*. Lalu dia menjelaskan bahwa seharusnya ada kemampuan kita untuk memahami dan mendalami inti dari sebuah kalimat fi'lunahyi ataupun fi'lulamri. 

Agar ketika kita menyampaikan suatu perintah dan kita menjelaskan mengapa itu harus dilakukan, maka orang yang diperintah akan menerima dan bahkan menjalankannya dengan senang hati.

Salahkah kritis sejak dini?

Tentu saja kita sepakat bahwa jawabannya adalah tidak. Yang salah adalah upaya penutupan kemungkinan timbulnya kebaikan baru. Karena kita tidak mungkin akan bertahan pada sebuah kebijakan yang seiring waktu tidak berguna. Juga saling merasa benar dengan kebenarannya menurut versi masing-masing atau kita sebut sebagai pragmatisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun