Mohon tunggu...
Fawaizzah Watie
Fawaizzah Watie Mohon Tunggu... wiraswasta -

Perempuan. Duapuluhan. \r\n\r\n\r\nhttp://fawaizzah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sebuah Alasan [Tentang Menikah]

24 Juni 2011   07:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:13 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam belum terlalu pekat, tapi tiba-tiba lampu padam. Seperti biasa, mungkin sedang ada pemadaman bergilir. Atau mungkin sedang ada masalah lain yang menyebabkan PLN memadamkan aliran listriknya ke rumah-rumah. Jika sudah seperti ini, hal yang paling menyenangkan adalah berdiam di kamar. Bebaringan di ranjang sambil berfikir tentang banyak hal. Membayangkan banyak hal. Atau, mengingat-ingat hal yang seharusnya tak perlu diingat. Sembari membuka jendela, membiarkan cahaya rembulan masuk. Menjamah semua yang ingin dijamahnya.

“Sudah tidur kamu Nok?” sebuah suara lembut datang dari arah pintu. Tiada suara lembut lain selain suara Ibuku di rumah ini. Beberapa detik kemudian, aku merasa tubuhnya sudah berbaring di sampingku. Mendekapku hangat.

“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanyanya. Seakan tahu ada banyak hal yang sedang melayang-layang dalam pikiranku.

“Enggak, cuma heran saja sama PLN. Matiin listrik kok di jam-jam segini.” Mencoba mengalihkan apa yang sedang bergejolak.

Suasana ketika sepi, lampu padam, sering dijadikan moment yang pas oleh Ibuku untuk berbicara padaku dari hati ke hati. Dari seorang Ibu kepada putrinya yang menginjak dewasa. Dalam kesempatan seperti ini pula, aku sering bercerita tentang banyak hal. Tentang pekerjaan, tentang orang-orang yang kutemui, tentang sahabat, bahkan tentang seseorang. Aku selalu terbuka pada Ibuku. Setiap ada masalah, aku acapkali membahasnya dengan beliau. “Aku memang Ibumu, tapi aku juga adalah sahabat terbaikmu” begitu katanya dulu.

“Nok…”

“Ya…”

“Andai kamu waktu itu mau sama Anto, sekarang mungkin kamu sudah menikah.”

“….”

Menikah. Satu hal yang sering kuhindari jika berbicara dengan Ibu. Bukan aku tak mau menikah. Aku mau menikah. Tapi bukan sekarang. Ada banyak hal yang sudah kumulai dan aku belum mampu menyelesaikannya. Ada banyak tempat yang hanya bisa kukunjungi jika aku masih sendiri. Dan aku belum mampu membuat bangga Ayah dan Ibu.

Anto, dia adalah seorang lelaki yang baik dari keluarga yang baik pula. Datang ke rumah kira-kira satu tahun lalu, bermaksud mengajak ta’aruf. Sebenarnya, sebelum dia datang, salah seorang keluarganya sudah ke rumah. Ingin mengenalkan aku dengan keponakannya. “Siapa tahu cocok.” begitu katanya. Dan waktu itu pula, saya sudah mencoba untuk menjelaskan bahwa saya belum ingin menikah. Jika ingin berkenalan, tentu saja boleh. Tapi saya harap, tidak ada harapan lebih. Saya mencoba menjelaskan di awal, karena saya tidak ingin lelaki baik ini akan kecewa di kemudian hari.

Setelah berkenalan dan bertukar nomor telpon, aku tetap menganggapnya seperti teman lelaki lainnya. Tidak ada yang istimewa. Beberapa kali dia mengajakku keluar, tapi aku menolaknya. Aku merasa tidak nyaman. Dan aku rasa, aku tak harus memaksa atau berpura-pura nyaman jika nyatanya memang aku tidak nyaman.

“Saya merasa tidak nyaman dengannya Buk.”

“Rasa nyaman itu akan hadir jika sudah biasa.” Begitu kata Ibuku. Dan aku hanya diam tanpa kata.

“Kukira, kamu tidak mau dengan Anto karena sudah dekat sama Aris?!” katanya lagi, mencoba memancingku untuk bercerita tentang seseorang.

“Bukan. Aris memang teman lelaki yang paling dekat denganku. Tapi bukan berarti aku adalah pacarnya atau merencanakan untuk menikah dengannya.” Kataku.

“Kenapa?”

“Dia adalah seorang perokok berat Bu, aku tak mau saat dia mencium bibirku nanti, akan ada sisa-sisa nikotin di bibirku dan membuat bibirku menghitam.” aku mencoba menjawab sekenanya.

Hening. Aku berharap lampu segera menyala. Agar Ibu lekas mengakhiri pembicaraannya dan beralih pada pekerjaan lain. Mematikan lilin-lilin yang ada di dapur, mungkin? Tapi apa daya, lampu pun tak kunjung menyala.

“Eko tidak merokok!” tiba-tiba muncul suara lagi dari Ibu, menandakan pembicaraan mengenai masalah ini belumlah selesai.

“Hmm… dia baik. Tidak merokok. Hampir seluruh hidupnya dia habiskan untuk mengurusi Masjid dan segala keperluan umat. Tapi dia nyaris tidak memperhatikan dirinya sendiri. Kalau memperhatikan dirinya sendiri saja, dia tidak mampu, bagaimana dia akan memperhatikan aku dan anak-anakku kelak?”

“Lalu orang yang seperti apa? Dan kapan?”

“Tidak perlu menentukan harus yang seperti apa Bu, dan tak perlu juga menentukan kapan itu akan terjadi. Doakan saja tentang hal yang terbaik untukku. Bukankah Tuhan sudah mempersiapkannya? Dan kita bukankah harus yakin, bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk kita?”

“Dan aku yakin, jika waktu itu tiba, Tuhan akan membukakan pintu hatiku.” lanjutku.

“Tapi alasanmu bukan karena kamu masih mengharapkan seseorang yang sudah meninggalkanmu kan?”

Deg…

Byar…

Lampu menyala beriringan dengan detak jantungku yang seketika berlarian.

Repost from : Coretan Tanpa Tinta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun