Setelah berkenalan dan bertukar nomor telpon, aku tetap menganggapnya seperti teman lelaki lainnya. Tidak ada yang istimewa. Beberapa kali dia mengajakku keluar, tapi aku menolaknya. Aku merasa tidak nyaman. Dan aku rasa, aku tak harus memaksa atau berpura-pura nyaman jika nyatanya memang aku tidak nyaman.
“Saya merasa tidak nyaman dengannya Buk.”
“Rasa nyaman itu akan hadir jika sudah biasa.” Begitu kata Ibuku. Dan aku hanya diam tanpa kata.
“Kukira, kamu tidak mau dengan Anto karena sudah dekat sama Aris?!” katanya lagi, mencoba memancingku untuk bercerita tentang seseorang.
“Bukan. Aris memang teman lelaki yang paling dekat denganku. Tapi bukan berarti aku adalah pacarnya atau merencanakan untuk menikah dengannya.” Kataku.
“Kenapa?”
“Dia adalah seorang perokok berat Bu, aku tak mau saat dia mencium bibirku nanti, akan ada sisa-sisa nikotin di bibirku dan membuat bibirku menghitam.” aku mencoba menjawab sekenanya.
Hening. Aku berharap lampu segera menyala. Agar Ibu lekas mengakhiri pembicaraannya dan beralih pada pekerjaan lain. Mematikan lilin-lilin yang ada di dapur, mungkin? Tapi apa daya, lampu pun tak kunjung menyala.
“Eko tidak merokok!” tiba-tiba muncul suara lagi dari Ibu, menandakan pembicaraan mengenai masalah ini belumlah selesai.
“Hmm… dia baik. Tidak merokok. Hampir seluruh hidupnya dia habiskan untuk mengurusi Masjid dan segala keperluan umat. Tapi dia nyaris tidak memperhatikan dirinya sendiri. Kalau memperhatikan dirinya sendiri saja, dia tidak mampu, bagaimana dia akan memperhatikan aku dan anak-anakku kelak?”
“Lalu orang yang seperti apa? Dan kapan?”