Beberapa minggu kemudian, selepas pulang dari kuliah, anak muda itu bergegas menuju basecamp komunitas untuk mempersiapkan segala sesuatu yang bersangkutan dengan kematangan acara bedah buku. Namun, pada saat di perempatan tengah kota, tampak sesosok manusia kecil,yang berjalan tergopoh-gopoh dengan membawa setumpuk koran untuk dijajakannya.
Keringat yang membasahi tubuh manusia kecil itu, dan harapan besar yang terlihat pada kedua bola matanya yang suci tanpa dosa, membuat anak muda itu menaruh iba terhadapnya. Sedikit rezeki yang ada pada saku kemejanya dikeluarkanlah dan diberikannya kepada manusia kecil itu. Dengan mata yang berkaca-kaca, manusia kecil itu mengucapkan terimakasih dengan penuh kerendahan hati dan senyuman yang menenangkan jiwa.
Setelah semua persiapan yang dilakukan untuk acara bedah buku dianggap cukup, anak muda itu pun kembali ke rumah untuk melepaskan semua nikmat lelah yang telah Tuhan berikan pada hari itu.
***
Melihat matahari telah terbit di ufuk timur sana, kedua mataku mulai terbuka. Otot-otot yang menegang ini perlahan mulai aku regangkan dan nafas panjang aku tarik lalu kulepaskan seperti sebuah ketapel. "Selamat pagi Bambu Airku.. Ucuk-ucuk.. Tangi nduk sampun subuh. Gekndang pakpung, macak, gek tak bungkus e awakmu".
Perintahku kepada si Bambu Air. Akhirnya, pagi ini sampai juga pada hari H acara bedah buku 'Menggambar Romo Mangun dari Samping Kanan'. Setelah si Bambu Air yang aku anggap seperti ponakanku sendiri itu selesai aku bungkus rapi, aku pun bergegas mandi kemudian berangkat menuju gedung Harian Kompas dengan memasang raut muka semangat berharap agar menular kepada siapa saja yang melihatku.
Setelah sampai di gedung Harian kompas dan bertemu dengan teman-teman panitia bedah buku, salah satu temanku ternyata melihat anak muda itu sedang mempersiapkan diri untuk menjadi narasumber pada acara tersebut. Terlihat anak muda itu sedang mempelajari materi acara sembari meletakkan sebuah tanaman hias sejenis bambu air nan cantik di meja narasumber sebagai hiasan panggung selama acara berlangsung.
Ya............. Dialah aku. Seorang anak muda. Seorang mahasiswa biasa yang tidak ingin hanya menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja. Aku hanyalah seorang mahasiswa biasa yang ditunjuk oleh teman-teman komunitas untuk mewakili mereka juga mewakili generasi muda dalam menyampaikan nilai-nilai yang Romo Mangun tanamkan semenjak beliau masih hidup di dunia ini.
Bersama dengan tokoh-tokoh senior, sebut saja Romo Kirdjito, beliau merupakan sahabat Romo Mangun. Kemudian juga bersama dengan mas Arie Sudjito yang merupakan sosiolog dari UGM. Mas Ado Bintoro sendiri selaku penulis dari buku 'Menggambar Romo Mangun dari Samping Kanan' yang pernah merasakan langsung bagaimana 2 tahun hidup bersama Romo Mangun "Sang Lampu 900 Watt", juga ditemani oleh mas Pras selaku moderator acara.
Pada saat acara bedah buku berlangsung, kami sebagai narasumber saling berbagi pengalaman dan pendapat kepada peserta mengenai ajaran-ajaran kebaikan yang diwariskan Romo Mangun kepada kita semua menurut pandangan masing-masing dari kami.
Pada salah satu isi buku tersebut, Romo Mangun berpesan kepada mas Bin, "Bin, berusahalah selagi kamu mau dan mampu! Jangan malu dan ragu, walaupun ada hambatan dan rintangan! Walaupun hanya pikiran dan tanganmu yang tersisa." Kutipan kalimat super yang menggetarkan hati setiap insan yang meresapinya itulah yang menjadi acuanku dalam penyampaian pendapat dan pengalamanku selama mengenal sosok Romo Mangun meskipun kami tidak berada dalam satu zaman kehidupan.Â