Pemikiran Weber dan Hart masih relevan dalam memahami tantangan era modern. Weber mengingatkan kita tentang pentingnya efisiensi dan rasionalitas, tetapi juga menuntut inovasi dalam birokrasi. Di sisi lain, Hart membantu kita memahami hukum sebagai sistem yang kompleks dan fleksibel, terutama di tengah pluralisme dan perubahan sosial yang cepat. Kedua pemikir ini, meskipun berasal dari masa yang berbeda, tetap menawarkan kerangka berpikir kritis untuk menavigasi kompleksitas dunia saat ini.Â
Analisis Perkembangan Hukum di Indonesia: Perspektif Max Weber dan H.L.A. Hart
Sistem hukum di Indonesia mengalami perkembangan yang dipengaruhi oleh dinamika sosial, politik, dan budaya. Dalam mengkaji fenomena ini, perspektif Max Weber dan H.L.A. Hart memberikan wawasan penting. Weber fokus pada rasionalitas birokrasi dan kekuasaan, sementara Hart melihat hukum sebagai sistem aturan yang kompleks dan dinamis. Kedua pemikiran ini relevan dalam memahami tantangan dan perubahan hukum di Indonesia.
1. Perspektif Max Weber: Birokratisasi dan Legitimasi Hukum di Indonesia
      Weber menekankan bahwa masyarakat modern berkembang melalui proses rasionalisasi, terutama dalam bentuk birokrasi yang efisien dan terstruktur. Hukum Indonesia saat ini menunjukkan jejak birokrasi Weberian, terlihat dari berbagai lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan lembaga legislasi (DPR). Setiap lembaga memiliki struktur hierarkis dan kewenangan spesifik sesuai dengan prinsip pembagian tugas.Â
      Namun, tantangan muncul karena birokrasi hukum di Indonesia masih sering diwarnai oleh inefisiensi, korupsi, dan kompleksitas prosedural yang berlebihan. Fenomena seperti ini dikenal dengan istilah *red tape* dan menjadi hambatan bagi akses masyarakat terhadap keadilan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun hukum Indonesia telah berusaha mengadopsi prinsip rasionalisasi birokrasi Weber, praktik di lapangan masih belum sepenuhnya efektif.Â
      Weber juga mengajarkan bahwa legitimasi kekuasaan dapat bersumber dari otoritas legal-rasional. Dalam konteks ini, Indonesia berusaha menerapkan legitimasi melalui aturan hukum yang tertulis dan prosedur formal. Namun, legitimasi hukum di Indonesia tidak hanya bergantung pada aspek legal formal, tetapi juga pada legitimasi moral dan budaya. Contoh paling jelas terlihat dalam penerapan hukum adat dan hukum agama di beberapa daerah yang berperan melengkapi hukum nasional. Ini menunjukkan bahwa rasionalitas hukum Weber perlu disesuaikan dengan pluralisme sosial dan kultural di Indonesia. Â
2. Perspektif H.L.A. Hart: Sistem Aturan dan Pluralisme Hukum di Indonesia
     Pemikiran Hart mengenai hukum sebagai sistem aturan (rules) sangat relevan dalam melihat perkembangan hukum Indonesia. Hart membedakan antara aturan primer dan sekunder. Aturan primer mengatur perilaku masyarakat, sementara aturan sekunder mengatur cara aturan primer dibuat, diubah, dan ditegakkan. Di Indonesia, aturan primer terlihat dalam berbagai undang-undang yang mengatur kehidupan masyarakat, seperti Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen atau Undang-Undang ITE. Aturan sekunder terlihat dalam prosedur legislasi dan peran lembaga seperti Mahkamah Konstitusi dalam menguji konstitusionalitas undang-undang.
      Pluralisme hukum Indonesia di mana hukum nasional, adat, dan agama beroperasi secara bersamaan memerlukan mekanisme aturan sekunder yang kuat. Sistem ini berusaha menjaga harmoni antara norma yang berbeda sekaligus memastikan bahwa semua warga negara tunduk pada prinsip *rule of law*. Namun, praktik pluralisme hukum ini juga memunculkan tantangan, seperti potensi konflik norma antara hukum adat dan hukum nasional, atau perbedaan penafsiran antara hukum syariah dan konstitusi.
      Konsep diskresi dari Hart juga relevan dalam memahami peran hakim di Indonesia. Dalam menghadapi kasus-kasus yang kompleks, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi, hakim sering kali menggunakan diskresi untuk menafsirkan hukum. Contoh kasus seperti penanganan isu kebebasan pers atau hak digital menunjukkan bahwa penegakan hukum tidak selalu bisa bersandar pada aturan baku, tetapi memerlukan pemahaman mendalam tentang perubahan sosial. Â