Mohon tunggu...
Intan Fauziah
Intan Fauziah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kedua Kalinya

19 Maret 2017   19:46 Diperbarui: 19 Maret 2017   20:00 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

      Hari ini tepat 2 tahun setelah kepergian ayah. Aku tidak akan pernah melupakan tanggal ini. 1 Januari 2015, hari dimana orang yang paling aku sayangi pergi. Bukan pergi untuk sementara waktu saja, tetapi pergi untuk selamanya, meninggalkan aku, ibu, dan adikku Saka.

      Aku sangat menyayangi ayah. Orang yang selama ini telah memanjakanku. Selalu memberi perhatian lebih kepadaku. Sampai saat ini aku masih belum bisa menerima kepergian ayah. Aku sudah mencoba untuk mengikhlaskannya, namun hati ini masih resah, kesedihan mendalam masih tersisa.

      Begitu pula dengan ibu, aku tau ibu pasti merasakan kesedihan yang sangat mendalam. Sekarang tidak ada lagi sosok ayah yang selalu menyapa ibu dengan senyuman indah di pagi hari dan disambut ibu dengan secangkir kopi. Tidak ada lagi sosok yang menemani ibu ketika harus begadang sampai tengah malam untuk membuatkan pesanan kue dari orang-orang.

      Saka yang dulu sekarang tak lagi ada. Dia lebih sering mengunci diri di kamar, sambil memainkan gitarnya. Berbeda dengan Saka yang dulu yang sering bermain keluar dengan teman temannya sampai lupa waktu. Saka memang orang yang tidak suka menunjukkan kesedihannya kepada siapapun, mungkin karena ia merasa laki-laki tidak pantas untuk menunjukkan hal itu, termasuk kepadaku kakaknya.

      Sekarang ibulah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ibu harus menafkahi aku dan Saka. Terkadang aku kasihan melihat ibu harus bekerja sendirian. Tidak pernah sekalipun aku melihat ibu mengeluh. Aku tahu bahwa sebenarnya ibu sudah lelah bekerja ditambah lagi harus mengurus aku dan Saka.

      Seperti biasa, setiap minggu pagi kita selalu pergi berziarah ke makam ayah, sosok terhebat yang pernah ada. Tak lupa kami haturkan doa untuk ayah, agar ayah tenang di alam sana. Namun, air mata kembali berjatuhan membasahi pipiku. Seakan-akan menceritakan perasaanku.

      “Ayo kakak, adik kita pulang,” ujar ibu kepadaku dan Saka.

      “Sebentar lagi ya bu, Saka masih ingin disini,” jawab Saka.

      “Baiklah, 5 menit lagi ya, ibu dan kakak akan menunggu di mobil.”

      Dari kejauhan kulihat Saka menundukkan kepala, sekali-kali ia mengusap pipinya. Aku tahu ia sedang menangis meluapkan perasaannya.

      Sepulangnya dari makam ayah kami singgah sebentar di sebuah rumah makan, tempat kesukaan ayah. Ayah suka makan disini karena di belakang rumah makan ini terdapat sebuah kolam pancing dengan pemandangan yang sangat indah. Ayah juga pernah bilang bahwa dengan melihat pemandangan yang indah seperti ini bisa menghilangkan beban pikiran kita.

      Pukul 18.00 kami baru sampai di rumah karena tadi terjebak macet yang sangat parah. Kami semua sudah lelah dan memutuskan untuk langsung mandi dan beristirahat. “Buk!” seketika terdengar suara hempasan keras yang membuatku terkejut.

      ”Ibu!” aku langsung berteriak saat kulihat ibu telah terbaring lemah di lantai.

      Saka pun langsung menghampiriku. Kami berdua berusaha membangunkan ibu. Namun, ibu tak kunjung bangun. Saka langsung berlarian keluar rumah meminta pertolongan tetangga. Setelah itu ibu langsung dibawa menuju rumah sakit terdekat. Aku dan Saka tak kuasa menahan tangis. Baju yang kami kenakan telah basah oleh air mata.

      Setelah 1 jam menunggu akhirnya ibu sadarkan diri. Betapa bahagianya aku dan Saka. Kami langsung memeluk ibu.

      “Ibu, Ibu baik-baik sajakan?” tanyaku sambil menangis.

      “Ibu baik-baik saja nak, kalian tidak perlu khawatir”.

      “Ibu istirahat saja dulu, mungkin ibu kelelahan” ujar Saka dengan penuh perhatian pada ibu.

      “Terimakasih sayang” jawab ibu.

      “Bisa saya bicara dengan keluarganya?” tanya dokter.

      “Bisa dok, saya anaknya,” jawabku.

      “Baiklah ikut ke ruangan saya”. Aku dan dokter pun langsung menuju ke ruangannya.

      “Sebelumnya saya mohon maaf, berat untuk saya mengatakannya bahwa sebenarnya ibu anda mengidap kanker otak stadium akhir.”  Tak kuasa aku menahan air mata mendengar kata-kata dokter. Bagai ditusuk banyak pisau dari segala arah. Aku tidak sanggup.

      “Lalu bagaimana dok? Apakah ibu saya masih bisa disembuhkan? Tolong dok, saya tidak mau kehilangan ibu saya, saya sangat menyayanginya.”

      “Saya akan berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada ibu anda.”

      “Terima kasih dok.” Aku langsung keluar dari ruangan dokter dengan air mata yang masih bercucuran. Aku tidak sanggup dengan keadaan ini. Tuhan, berikanlah aku kekuatan untuk menghadapi semua ini.

      Sudah 2 hari ibu terbaring lemah di rumah sakit. Namun, keadaan ibu masih belum membaik. Aku semakin tidak tenang. Aku teringat akan kata-kata dokter waktu itu tentang penyakit ibu. Aku tidak mau kehilangan ibu. Kehilangan orang yang sangat aku sayangi untuk kedua kalinya. Aku dan Saka selalu berada disamping ibu, menggenggam erat tangannya. Kami tidak sanggup untuk jauh dari ibu. Malaikat tanpa sayap yang selalu ada untuk kami.

      “Ibu sayang kalian, kalian baik-baik ya ikhlaskan ibu dan ayah, agar kami tenang di alam sana.” tiba tiba kata-kata itu keluar dari mulut ibu.

      “Ibu tidak boleh berbicara seperti itu, Saka dan kakak sayang ibu” ujar Saka sambil terisak-isak.

      “Ibu pasti sembuh, kita akan terus bersama bu.” tambahku utuk menguatkan ibu.

      Tangan ibu pun langsung dingin sedingin-dinginnya, mata nya terpejam.

      “Ibu…” aku dan Saka langsung berteriak sekencang-kencangnya sambil menangis sejadi-jadinya. Kami tidak sanggup menghadapi kenyataan ini. Kenyataan bahwa ibu telah pergi menyusul ayah. Mengapa harus kami yang merasakan kepedihan ini? Kehilangan dua orang yang sangat kami sayangi. Luka lama belum sembuh, luka baru datang lagi. Aku langsung memeluk Saka dengan sangat erat. Sakalah satu-satunya keluargaku saat ini. Aku tidak tau lagi harus berbuat apa. Entah bagaimana aku akan menjalani hidupku selanjutnya, bersama Saka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun