/1/
Siang di kedai kopi, kita bercengkrama
Menanam biji-biji cinta di hatiÂ
Kita rawat mereka dengan sabar, dipupuk dengan kasih sayangÂ
Dan disirami dengan perhatian hingga bisa kita tuai nantiÂ
/2/
"Aku mencintaimu. Jiwaku sepi tanpamu", bisikmu di telingaku
Di sini sunyi. Suara-suara sudah tak ada lagi. Hening, semuanya tak bising. Aku tuli.
"Aku tak bisa mendengar"
"Cukup rasakan", katamu kepadaku yang tak suka buih madu, padaku yang berjiwa sepi, padaku yang percaya bahwa cinta itu kamu, dan padaku yang sangsi bahwa kamu akan pergi.
/3/
Waktu pun bergulir, mengganti musim kemarau dengan musim penghujan di sepanjang hari.
Dari kejauhan, aku dapat melihat angin-angin yang bergulung bagai topan atau tentang isyarat basah yang akan segera berganti hujan di pekarangan. Ya, musim hujan akan tiba. Dan kita akan sempurna merana.
/4/
Kala musim-musim telah tiba di pekarangan
Aku dapat melihat masalah yang duduk di sofa
Amarah yang luruh di kubin-kubin kusam Â
Dan air mata yang menyeduh duka di dapur
Semuanya pecah, basah tertuai air mata.
Dan kau tahu?
Kata "Aku mencintaimu, jiwaku sepi tanpamu" sudah hilang. Pergi entah ke mana. Semuanya purna. Yang tersisa hanya cintaku-- cintaku yang tak utuh tanpamu.
/5/
Dan pada akhirnya, kita hanya bisa pasrah. Kita lelah. Kita ingin pisah. Kita ingin sendiri, ditikam kesepian.Â
Perpisahan bertamu dan kehilangan menyalami aku. Katanya aku harus tabah.
Ya kita pisah. Pisah. Pisah. Â Pisah...
Selamat tinggal, kita pisah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H