Perbincangan pun semakin panas. Ide Mbah Harso dimentahkan oleh beberapa warga. Mereka menganggap ide itu tidak praktis. "Membuang waktu," katanya. Tapi, Mbah Harso tetap kukuh dengan idenya yang telah ia lakukan berpuluh tahun, menanami hutan kembali.
"Tolong ...! Tolong ...!" Terdengar teriakan ibu-ibu yang berlari menuju balai desa memecah konsentrasi bapak-bapak yang berkumpul.
"Ada apa ini, Ibu-ibu?" tanya kepala desa.
"Monyet, Pak. Monyet itu ada rajanya.  Mereka mengobrak-ngabrik warung  Bu Sri,"  cerita seorang ibu yang sedang ngos-ngosan.
"Raja monyet? Ah, yang benar saja, Bu?" kepala desa tak percaya. "Mana mungkin monyet mempunyai raja," sambungnya.
"Pak, Kurdi, Pak. Kurdi anak bapak. Em, anu ...!?" Ibu separuh baya itu bicara dengan terbata.
"Kenapa dengan Kurdi?"
"Anu, Pak. Dia ditahan oleh raja monyet."
"Tidak mungkin!" kepala desa itu kembali tak percaya mendengar cerita warganya.
"Benar, Pak. Kurdi membutuhkan pertolongan. Segera, Pak!"
Warga dipimpin Pak Seno sebagai kepala desa pun bergegas menuju tempat Kurdi ditahan raja monyet. Hati Pak Seno pun tidak karuan mendengar putra semata wayangnya disandera. Apa yang sebenarnya terjadi?