"Begitulah, Pak. Orang-orang kota yang rakus itu kian menggerus penghidupan kita. Kehidupan kian sulit, penghidupan pun kian sakit," sahut istrinya.
"Lihatlah, bibit-bibit pohonku semakin sedikit. Sebagian sudah kutanam. Jika, orang rakus itu tak menggerus, setidaknya kita masih bisa menikmati kayu lima atau sepuluh tahun lagi."
"Orang kota itu sakti, Pak. Mereka sedang asyik duduk santai di balik meja, tapi hutan dapat gundul hanya dengan perintahnya yang ia kirim ke anak buahnya."
"Begitulah, Bu. Orang sekarang kian canggih."
"Apa Bapak tidak tahu, tangan kanan dari orang kota itu si Wiryo dan antek-anteknya? Wiryo yang menjalankan mesin pemamah pohon-pohon di hutan itu."
"Wiryo anak Pak Slamet, Bu? Wah, dia menghalalkan segala cara demi uang. Tak menyadari dampak dari penggundulan hutan itu. Lama-lama, desa kita bisa terkubur karena longsor." Mbah Harso geram.
"Ini tehnya, Pak." Winarsih keluar dari dapur dengan segelas teh dan mengambil tempat di sebelah suaminya duduk.
"Kasihan anak cucu kita jika terus begini. Orang kota itu hanya mementingkan perutnya sendiri." Mbah Harso masih geram sambil menyeruput teh panas kental manis buatan Winarsih.
"Aku akan terus menyemai bibit pepohonan dan menanamnya. Agar anak cucu kita tidak terlantar," sambungnya.
***
Selepas Subuh dengan berbekal nasi yang dibungkus daun pisang Mbah Harso melangkahkan kaki menyusuri jalan setapak menuju hutan. Baginya, pantang ke hutan sesudah mentari terbit lebih dulu.Â