Dipejamkan matanya yang mulai tak jelas memandang sekelilingnya. Direbahkannya raga yang mulai renta dimakan musim yang berganti. Kulitnya legam terbakar matahari setiap hari. Di gubuk yang terbuat dari kayu galam itu ia melepas lelah.Â
Kegiatannya keluar masuk hutan mengumpulkan kayu untuk dijadikannya kayu bakar dan dijual istrinya ke pasar. Ia jalani berpuluh-puluh tahun. Kakinya hapal betul jalan menuju hutan meski matanya tak lagi jelas memandang.
Siang itu, mentari tepat di atas kepalanya. Ia memutuskan untuk istirahat di gubuk yang ia bangun tepat di tengah hutan. Dua ikat kayu berhasil ia kumpulkan dari sisa penebangan ilegal. Kayu yang ia kumpulkan di tahun-tahun terakhir ini tidak seperti duapuluh tahun lalu. Biasanya, ia mampu mengumpulkan sepuluh ikat kayu yang ditampung di gubuk.
Mbah Harso, tetangga memanggilnya. Laki-laki setengah abad lebih itu tinggal bersama istri dan dua anak angkatnya. Pernikahannya dengan Winarsih tak diberikan momongan, lalu ia mengangkat dua saudara yang yatim piatu, karena kedua orang tuanya disapu longsor delapan tahun lalu. Jamal dan Maisarah nama keduanya.Â
Mbah Harso sangat bahagia menyaksikan pertumbuhan anaknya yang sekarang sudah duduk di sekolah menengah pertama, Jamal kelas tiga dan Maisarah kelas satu.
Mentari kian condong ke barat, Mbah Harso memikul dua ikat kayu menyusuri jalan setapak menuju rumahnya. Segenggam daun pakis ia jinjing dengan tangan kanannya. "Lumayan untuk sayur lauk makan malam," pikirnya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam, Pak," sambut istrinya.
"Ke mana anak-anak, Bu?"
"Jamal tadi pergi ke rumah juragan Ismail, kalau Maisarah ada di dalam sedang belajar."
"Sekarang kayu yang aku kumpulkan tak sebanyak dulu lagi, Bu. Hutan kian hari makin gundul. Ditebang oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Mereka mengambil kayu tanpa melakukan penanaman pohon yang baru. Kalau terus begini, anak cucu kita mau bagaimana kehidupannya kelak?" Mbah Harso berkeluh kesah pada istrinya.