Mohon tunggu...
Fauzi Rohmah
Fauzi Rohmah Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis

Guru di SMP Negeri 1 Kusan Hilir, Tanah Bumbu, Kalsel - Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Embun di Hati Marhamah

1 September 2016   09:14 Diperbarui: 1 September 2016   09:26 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Desa Batuah gempar. Marhamah, anak gadis Mariyam satu-satunya, dikabarkan hilang sejak jam pulang sekolah. Hanya tas gendong dan sepatu bututnya yang ditemukan temannya teronggok di lahan kosong belakang sekolah. Temannya tak ada yang tahu persis peristiwa raibnya Marhamah, gadis hitam manis berlesung pipit yang dikenal berbudi bahasa baik. Sangat tidak mungkin ia mempunyai musuh. Tapi, kabar kehilangan itu membuat warga sekitar saling lempar pertanyaan. Apa yang terjadi?

Ditunggunya Marhamah oleh emaknya hingga larut malam. Tapi tak jua batang hidungnya kelihatan. Di atas sajadah Mariyam mencurahkan derita kehilangan gadis semata wayanganya kepada Tuhan. Linangan air mata pun membanjiri tempat bersujudnya menghantarkannya pada Subuh yang penuh keluh.

Paginya, Desa Batuah bak nona yang sedang berkembang, menggoda orang-orang untuk berkumpul dan membicarakan raibnya Marhamah. Beberapa ibu menghampiri Mariyam dengan segala kata yang diuraikan untuk menghibur hatinya yang gundah gulana. Bah air matanya pun tumpah tak terkendali, tak kuasa menerima cobaan yang menimpa diri. Mariyam rubuh kehilangan tongkat bagi hidupnya.

Di balik kerumuman warga, terlihat seorang tua renta tergopoh-gopoh menghampiri Mariyam. Secarik kertas kecil pun ia berikan dengan tangan bergetar.

Jangan risau, calon ibu mertuaku. Aku akan membawa Marhamah ke surga dengan bergelimangan harta. Akan kubangunkan istana yang megah. Hanya restu yang kupinta. Salam. Calon menantumu.”

Diremasknya surat kaleng itu. Rasa tercabik-cabik hatinya. Siapa yang berani menculik anak gadisnya? “Siapa yang mengirimkan ini?” Tanya Mariyam pada si kurir.

“Bos Harso, Yam.” Jawabnya singkat.

Harso, laki-laki beristri tiga yang tak pernah puas dengan jumlah istrinya. Jika istrinya berjumlah ganjil maka ia akan memburu gadis-gadis di desanya, bahkan di desa lain untuk diperistri. Ia bergelimang harta dan dikelilingi wanita.

Pipinya tak lagi merimis. Tapi air mukanya menandakan murka. Ia bergegas menuju kediaman Harso untuk menjemput anak gadisnya. Ia tak sudi dan tak akan rela melepaskan Marhamah kepada laki-laki amoral itu.

***

Mak .... Emak .... Tolongin Hamah. Hamah takut.” Jerit lirih keluar dari mulutnya. Isak tangisnya pun menggema di ruangan berukuran dua kali dua meter persegi. Udaranya pengap. Hanya ada satu jendela bertelaris besi. Ia disekap oleh anak buah Harso. Tubuhnya lunglai karena sejak diculik belum ada satu sendok nasi pun yang melewati kerongkongannya. Ia tak memakan nasi jatah yang disodorkan oleh anak buah Harso. Ia takkan sudi mengisi perutnya dengan makanan dari laki-laki yang berhati picik.

Kreeek ....” Terdengar suara daun pintu dibuka. Muncullah sosok laki-laki yang sudah mendekati lansia. Laki-laki tengik yang telah memupuskan mimpinya.

“Halo, gadis manis.” Sapanya ke Marhamah. Disentilnya hidung bak huruf alif itu yang dengan tangkas ditepis oleh Marhamah.

“Laki-laki busuk!” Marhamah geram.

“Tak usah munafik, Hamah. Emakmu itu pasti akan menerima lamaranku. Sejak bapakmu meninggal, emakmu mencabang hutang. Akulah jalan keluarnya, Hamah. Akan kulunasi hutang emakmu di mana-mana.” Diangkatnya dagu Marhamah. Tatapnya tajam mengancam.

“Aku tak sudi menjadi selirmu. Walau harus mati di hadapanmu.” Diraihnya besi panjang berukuran duapuluh centi meter dengan ujung tajam. Harso sigap menahan tangan Marhamah yang hampir saja menusuk perutnya dengan besi di tangannya.

“Aku tak ingin engkau menyakiti dirimu sendiri, Hamah. Akulah malaikat yang akan mengentaskanmu dari kemiskinan. Aku mencintaimu.”

“Tengik! Cih ....” Diludahinya wajah yang mulai terukir keriput.

“Munafik kau, Marhamah. Orang miskin sepertimu apa yang dibutuhkan selain uang, uang, dan uang. Aku punya segalanya, Hamah. Bahkan aku bisa membeli desa Batuah itu.” Ucapnya lantang dan congkak.

“Ketulusan cintaku tak semurah rupiah yang kau tawarkan, Harso. Jangan nafsumu kau atas namakan cinta! Aku tak tertarik sedikit pun dengan iming-imingmu. Aku lebih baik miskin dari pada harus menjadi selirmu.”

“Ok. Kita buktikan keputusan emakmu berpihak padaku atau padamu, gadis manis.”

Hening. Tatapan tajam Harso di balas dengan mata Marhamah yang penuh amarah. Hidungnya mendengus. Geriginya bergemeretak. Dikepalnya tanganya. Sejurus ditinjunya wajah keriput di hadapannya dengan kekuatan yang telah ia kumpulkan dari kemarin sore. Harso meringis. Mengucur darah seegar dari hidungnya.

“Bos, ada emaknya Marhamah.” Anak buahnya menyela.

“Lihat, emakmu sudah datang. Sebentar lagi kau akan tahu keputusannya. Tunggu!” Ucapnya sebelum ia menghilang di balik pintu.

***

“Jadi, calon ibu mertua tidak mengizinkan aku menikahi Marhamah? Lihat dirimu, Mariyam! Kau berkubang hutang dan hanya aku yang dapat membebaskanmu dari hutang-hutang yang kian hari menggunung dengan syarat Marhamah menjadi istriku.”

“Tak akan kubiarkan putriku jatuh di tanganmu. Bebaskan dia atau aku akan melaporkanmu ke polisi!”

“Kau mengancamku? Tak ada yang kutakuti di muka bumi ini. Aku punya uang, aku bisa membeli semua yang tersaji di dunia ini. Kebebasan, misalnya. Aku bebas melakukan apa saja sesukaku.” Perbincangan emaknya dengan Harso didengar Marhamah samar-samar. Ia bergidik, saat membayangkan ia harus menjadi istri Harso demi ibunya. Ah, tidak mungkin cintaku dapat dirupiahkan?

“Aku tak sudi bermenantukan kamu, Harso. Laki-laki keladi tak bercermin diri. Cinta Marhamah hanya pantas untuk laki-laki yang tulus mencintainya. Cintanya tak akan digadaikan dengan rupiah, meski kami harus hidup di lumbung hutang. Restuku pun tak akan kuberikan hanya karena gunungan rupiah. Aku sama sekali tak tertarik.”

Marhamah tak lagi khusyuk mendengar perbincangan emak dan Harso. Ia terseok menghampiri daun pintu. Tubuhnya lunglai, tapi semangatnya tak kan terkulai. Ia coba gerak-gerakkan gagang pintu. “Kreeek”.Pintu terbuka. Rupanya Harso dan anak buahnya lupa menguncinya. Ah, mengapa tak dari tadi ini kulakukan?

Ia berjalan jinjit, mengendap-ngendap. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri. Ia menghampiri pintu yang terbuka lebar. Di balik meja terlihat emaknya yang duduk bersimpuh di hadapan Harso berlinang air mata. Melihat pemandangan itu, hatinya teriris. Tak kuasa ia membendung kesedihannya yang bercampur dengan amarah. Ia berbalik arah. Mencari jalan ke luar. Ia terus mengendap sampai menemukan sebuah pintu menuju luar yang terletak di dapur. Ia sandarkan tubuh lunglainya di dinding luar. Matanya terpejam, helaan nafasnya pun terdengar berat. Dadanya berdetak naik turun tak beraturan.

“Marhamah. Hamah. Kau baik-baik saja?” Suara laki-laki itu mengejutkannya yang tengah menikmati kebebasannya. Rano, pemilik suara itu. Laki-laki yang lebih tua tiga tahun darinya yang menjadi pengisi hari-hari Marhamah.

“Rano, kita cari aparat desa dan polisi. Emak sedang bernegosiasi dengan laki-laki biadab itu. Aku tak ingin keadaan emak terancam, Rano.”

“Baik.” Ia dan Rano pun bergegas. Namun, belum sampai delapan langkah, Marhamah jatuh terkulai. Ia benar-benar tak berdaya. Tubuhnya lemah, pucat bagai mayat. Dibopongnya tubuh mungil kekasihnya dengan tergopoh-gopoh menuju rumah kepala desa.

“Pak kades, Pak kades. Tolong Marhamah, Pak Kades.”

“Rano? Ayo bawa masuk. Kau temukan dia di mana?”

“Di belakang rumah Bos Harso. Pak Kades harus bertindak menengahi emak Mariyam yang sedang terancam di rumah bos itu.”

“Baiklah.” Pak kades pun bergegas ke rumah juragan Harso didampingi beberapa perangkat desa dan lima polisi yang tengah menyelidiki kasus hilangnya Marhamah.

***

 “Angkat tangan!” Kelima polisi itu pun menyergap Harso dan anak buahnya dengan senjata api di tangan.

Mak Mariyam, tenang. Marhamah sudah ada di rumah sayaCepatlah tengok dia.” Pak kades memberitahu. Mak Mariyam pun bergegas menuju rumah Pak kades. Kekhawatirannya terhadap Marhamah membuat ia lupa pada sakit yang bersarang di kakinya. Ia terus berlari dengan tergopoh-gopoh.

Emaaak ....” Marhamah menghambur ke arah emaknya. “Maafkan Hamah, Mak. Sudah membuat khawatir. Maafkan Hamah yang telah membuat emak terhina di hadapan Harso.” Sambungnya.

“Bukan salahmu, Hamah. Lebih berhati-hatilah. Serigala itu bisa lepas dari tangan polisi kapan saja. Jaga dirimu, ya.” Mariyam memeluk putrinya erat.

“Rano, terima kasih sudah menyelamatkan putriku.”

“Sama-sama, Mak. Sekarang yang terpenting Marhamah sudah selamat dan harus banyak istirahat karena sejak kemarin dia tidak makan.”

“Oh, anakku.” Diusapnya kepala Marhamah dengan penuh kasih.

***

Terdengar kabar, Harso dan anak buahnya di hukum selama lima tahun penjara dengan kasus penculikan yang dilakukan. Kabar itu sedikit membuat hati Mariyam lega, setidaknya itulah balasan yang setimpal untuk seorang penculik. Hari-harinya pun dilalui dengan hati tenang. Ia habiskan waktunya di sawah dengan menanam padi, kebetulan sedang musim penghujan.

Marhamah pun pulih dari traumanya dan kembali bersekolah. Ia selalu di antar-jemput Rano, kekasihnya. Walau hanya dengan sepeda ontel Rano, Marhamah sudah bahagia karena kekasihnya itu selalu menyediakan waktu untuknya mengantar ke mana-mana. Rano sangat bertanggung jawab menjaganya.

“Mas, terima kasih, ya. Kamu selalu menjagaku.” Ditatapnya wajah kekasihnya yang sendu dan menenangkan.

“Aku akan menjagamu, sampai senja usiaku, calon ibu untuk anak-anakku.”

Bunga kebahagiaan sedang mekar-mekarnya di hati mereka. Rano dengan sabar menunggu kelulusan kekasihnya yang sebentar lagi. Ia giat bekerja demi mengumpulkan rupiah untuk mewujudkan mimpi Marhamah, kuliah. Pekerjaan apa pun ia lakoni. Semua demi gadis manis yang sangat ia cintai.

Rano dan Marhamah saling memberi semangat dan saling menguatkan kala salah satu di antaranya sedang berada dalam cobaan. Baginya, Rano seperti tongkat yang selalu menguatkan dirinya saat goyah, seperti besi yang memagarinya dan menjaganya dari serangan serigala sebuas Harso.

“Doaku menyertaimu, bidadariku. Kurengkuh engkau dengan doa yang akan mengantarkanmu mewujudkan mimpi besarmu.” Mendengar itu, pipi Marhamah memerah tersipu malu. Semangat yang Rano berikan laksana tetesan embun di hatinya yang menyangsikan kemampuannya untuk kuliah. Embun yang menyejukkan paginya yang pasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun