Mohon tunggu...
Fauzi Rohmah
Fauzi Rohmah Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis

Guru di SMP Negeri 1 Kusan Hilir, Tanah Bumbu, Kalsel - Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Embun di Hati Marhamah

1 September 2016   09:14 Diperbarui: 1 September 2016   09:26 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kreeek ....” Terdengar suara daun pintu dibuka. Muncullah sosok laki-laki yang sudah mendekati lansia. Laki-laki tengik yang telah memupuskan mimpinya.

“Halo, gadis manis.” Sapanya ke Marhamah. Disentilnya hidung bak huruf alif itu yang dengan tangkas ditepis oleh Marhamah.

“Laki-laki busuk!” Marhamah geram.

“Tak usah munafik, Hamah. Emakmu itu pasti akan menerima lamaranku. Sejak bapakmu meninggal, emakmu mencabang hutang. Akulah jalan keluarnya, Hamah. Akan kulunasi hutang emakmu di mana-mana.” Diangkatnya dagu Marhamah. Tatapnya tajam mengancam.

“Aku tak sudi menjadi selirmu. Walau harus mati di hadapanmu.” Diraihnya besi panjang berukuran duapuluh centi meter dengan ujung tajam. Harso sigap menahan tangan Marhamah yang hampir saja menusuk perutnya dengan besi di tangannya.

“Aku tak ingin engkau menyakiti dirimu sendiri, Hamah. Akulah malaikat yang akan mengentaskanmu dari kemiskinan. Aku mencintaimu.”

“Tengik! Cih ....” Diludahinya wajah yang mulai terukir keriput.

“Munafik kau, Marhamah. Orang miskin sepertimu apa yang dibutuhkan selain uang, uang, dan uang. Aku punya segalanya, Hamah. Bahkan aku bisa membeli desa Batuah itu.” Ucapnya lantang dan congkak.

“Ketulusan cintaku tak semurah rupiah yang kau tawarkan, Harso. Jangan nafsumu kau atas namakan cinta! Aku tak tertarik sedikit pun dengan iming-imingmu. Aku lebih baik miskin dari pada harus menjadi selirmu.”

“Ok. Kita buktikan keputusan emakmu berpihak padaku atau padamu, gadis manis.”

Hening. Tatapan tajam Harso di balas dengan mata Marhamah yang penuh amarah. Hidungnya mendengus. Geriginya bergemeretak. Dikepalnya tanganya. Sejurus ditinjunya wajah keriput di hadapannya dengan kekuatan yang telah ia kumpulkan dari kemarin sore. Harso meringis. Mengucur darah seegar dari hidungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun