“Bos, ada emaknya Marhamah.” Anak buahnya menyela.
“Lihat, emakmu sudah datang. Sebentar lagi kau akan tahu keputusannya. Tunggu!” Ucapnya sebelum ia menghilang di balik pintu.
***
“Jadi, calon ibu mertua tidak mengizinkan aku menikahi Marhamah? Lihat dirimu, Mariyam! Kau berkubang hutang dan hanya aku yang dapat membebaskanmu dari hutang-hutang yang kian hari menggunung dengan syarat Marhamah menjadi istriku.”
“Tak akan kubiarkan putriku jatuh di tanganmu. Bebaskan dia atau aku akan melaporkanmu ke polisi!”
“Kau mengancamku? Tak ada yang kutakuti di muka bumi ini. Aku punya uang, aku bisa membeli semua yang tersaji di dunia ini. Kebebasan, misalnya. Aku bebas melakukan apa saja sesukaku.” Perbincangan emaknya dengan Harso didengar Marhamah samar-samar. Ia bergidik, saat membayangkan ia harus menjadi istri Harso demi ibunya. Ah, tidak mungkin cintaku dapat dirupiahkan?
“Aku tak sudi bermenantukan kamu, Harso. Laki-laki keladi tak bercermin diri. Cinta Marhamah hanya pantas untuk laki-laki yang tulus mencintainya. Cintanya tak akan digadaikan dengan rupiah, meski kami harus hidup di lumbung hutang. Restuku pun tak akan kuberikan hanya karena gunungan rupiah. Aku sama sekali tak tertarik.”
Marhamah tak lagi khusyuk mendengar perbincangan emak dan Harso. Ia terseok menghampiri daun pintu. Tubuhnya lunglai, tapi semangatnya tak kan terkulai. Ia coba gerak-gerakkan gagang pintu. “Kreeek”.Pintu terbuka. Rupanya Harso dan anak buahnya lupa menguncinya. Ah, mengapa tak dari tadi ini kulakukan?
Ia berjalan jinjit, mengendap-ngendap. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri. Ia menghampiri pintu yang terbuka lebar. Di balik meja terlihat emaknya yang duduk bersimpuh di hadapan Harso berlinang air mata. Melihat pemandangan itu, hatinya teriris. Tak kuasa ia membendung kesedihannya yang bercampur dengan amarah. Ia berbalik arah. Mencari jalan ke luar. Ia terus mengendap sampai menemukan sebuah pintu menuju luar yang terletak di dapur. Ia sandarkan tubuh lunglainya di dinding luar. Matanya terpejam, helaan nafasnya pun terdengar berat. Dadanya berdetak naik turun tak beraturan.
“Marhamah. Hamah. Kau baik-baik saja?” Suara laki-laki itu mengejutkannya yang tengah menikmati kebebasannya. Rano, pemilik suara itu. Laki-laki yang lebih tua tiga tahun darinya yang menjadi pengisi hari-hari Marhamah.
“Rano, kita cari aparat desa dan polisi. Emak sedang bernegosiasi dengan laki-laki biadab itu. Aku tak ingin keadaan emak terancam, Rano.”